***
Di rumah ini, ayah adalah raja dari istana yang hanya dihuni oleh dirinya, mungkin bersama iblis dan beberapa peri tak kasatmata. Sementara aku hanyalah penyusup yang kebetulan lahir dari setetes darahnya.
Aku tak pernah memberontak meskipun di usiaku sekarang ayah masih saja membentak, menghujani makian dan sumpah serapah. Aku tetap diam tapi tak lagi gemetar. Meskipun dada masih sering berdebar tapi bukan berarti takut. Aku lebih mengkhawatirkan tubuhnya yang telah rapuh.
Ayah masih sering bernyanyi sembari menarikan gerakan-gerakan aneh. Melompat kadang berjingkat seperti tupai. Lalu melata menyusuri lantai. Berteriak menyebut nama ibu seraya memaki binatang-binatang menjijikkan itu.
Suatu hari, ayah memanggilku. Gelegar teriakannya sama sekali tak berkurang meskipun kini tubuhnya telah renta dan aku telah berubah menjadi seorang lelaki dewasa.
Aku bergegas menghampirinya. Ia menatapku dengan pandangan seekor elang tua. Tangannya bergetar. Tubuhnya tersandar di kursi yang tak kalah renta dari dirinya. Sebilah parang yang dulu selalu diasahnya tergeletak di dada. Entah sudah berapa tubuh dibuatnya kehilangan nyawa, termasuk ibuku. Tangan kanannya berusaha menggapaiku, sedangkan tangan kiri masih memeluk parang yang tertidur dalam sarungnya.
"Kau tahu, parang ini tak seberapa tajam dibandingkan lidah dan pikiran."
"Ayah ..."
"Dengan keadaanmu sekarang, jadilah dirimu sendiri. Gunakan kepalamu, jangan cuma tanganmu."
Aku tercekat. Baru kali ini aku mendengar lembut kalimat ayah. Sejak kepergianku sekian tahun lalu ke kota dan hidup dengan cara berbeda, aku melihat dunia dalam cahaya beraneka warna. Aku menatapnya tanpa kata. Orang tua itu mendesah. Matanya menembus langit-langit.
"Satu hal yang perlu kau tahu, kekejian hanya akan melahirkan kekejian baru. Aku sudah memaafkan ibumu, tapi belum bisa memaafkan diriku."