Seluruh tubuhku seketika lunglai. Tulang-belulang seperti tak berguna menopangku berdiri. Aku hanya meringkuk. Memeluk kedua lutut dan tanpa sadar kugigiti sendiri lututku hingga berdarah.
Dalam keremangan tiba-tiba aku melihat pintu terbuka. Sesosok tubuh besar berdiri tepat di bawah ambang pintu. Dari bentuk tubuhnya aku sudah bisa menduga, ayah tiba.
"Binatang!"
Suaranya menggelegar bagai singa. Mereka serentak berhamburan menjauhi tubuh ibuku. Secepat cahaya yang melesat ayah melompat. Parang ditangannya berkelebat. Menebas leher binatang-binatang menjijikkan itu. Nyaris tak ada perlawanan berarti. Setelah semua terkapar, tersisa satu orang yang beringsut mundur. Tatapannya menciut sembari memegangi lehernya yang berdarah.
"Barjo. Ampun, Barjo. Istrimu yang mengundang kemari. Dia yang mengundang kami ke rumahmu."
"Tidak, sayang! Mereka memperkosaku setiap kali kau pergi!"
Laki-laki berambut keriting dengan dada dipenuhi bulu serupa celeng besar itu meratap di bawah bayang-bayang kaki ayah. Dalam keremangan, aku melihat wajah ayah menyeringai begitu bengis serupa iblis.
"Biadab!"
Selanjutnya darah muncrat. Celeng besar itu kelojotan menyusul binatang-binatang lain yang telah lebih dulu terkapar. Parang di tangan ayah tak berhenti meneteskan darah.
Aku menelungkupkan wajah. Mulutku tak mampu bersuara. Ada sesuatu yang seolah-olah menyumbat kerongkongan begitu saja. Aku menggigil. Dan entah, aku tak melihat bagaimana kejadiannya, ternyata ibu juga telah tergeletak. Mulut dan matanya terbuka. Darah mengalir. Kulihat kakinya berkedut sesaat sebelum akhirnya diam.
Ayah merendahkan tubuhnya. Mengangkat tubuhku yang ringkih dengan tangannya. Rasa takut dan bahagia menyatu begitu rupa. Baru kali ini aku digendong ayah. Aku tenggelam di dadanya yang basah. Masih kudengar sisa napas memburu dan degup jantungnya berpacu.