Ia sering berada di Kota Tua,
bersweater biru dengan lubang di bagian bahu dan dada.
Sebatang kretek murahan menyisakan pahit di bibir.
Tubuhnya semakin bungkuk di bawah bayangan lampu yang redup.
Di ujung jalan menjelang Museum Fatahillah,
ia berhenti, menunduk, seperti menghayati suara kapal tua
di pelabuhan mati, seperti bisikan yang telah dikubur,
tapi tak pernah benar-benar pergi.
Aku tak tahu dari mana ia datang.
Kulitnya gelap, bermata sipit dengan rambut keperakan,
Ada yang bilang ia hanya orang gila.
Tapi ada yang bersumpah ia berasal dari dermaga yang jauh.
Namun yang pasti, ia hanya bayangan.
Muncul menjelang malam, dan hilang sebelum fajar.
Jari-jarinya kerap kaku menggenggam segelas teh panas,
kakinya gemetar, bukan lantaran dingin,
tapi ada yang bergetar, seperti jeritan dari masa lalu
yang tak pernah benar-benar bisu.
Suatu malam di halaman Masjid Luar Batang,
di antara doa-doa yang tenggelam,
ia bercerita, suaranya retak,
serupa kayu kapal pecah dipukul ombak.
"Aku bukan siapa-siapa," katanya,
"hanya satu kepala dari ribuan yang meninggalkan tanah kelahiran."
Angin laut berhembus,
membawa aroma garam dan doa yang terhenti di tenggorokan,
lampu pelabuhan berkedip samar,
seperti mata yang enggan terpejam.
Di masjid Kota Tua, ia membisikkan nama
yang mungkin bukan namanya.
Jakarta, 2019
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI