Mohon tunggu...
Isroi Isroi
Isroi Isroi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Berbagi Tak Pernah Rugi

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pelajaran Hidup dari Aki Penjual Telur Ayam

10 Desember 2012   14:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:53 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Waktu aku tinggal di Jabaru IV, Pasir Kuda, ada aki-aki penjual ayam kampung. Kami biasa memanggilnya Aki, karena umurnya sudah sangat tua. Perkiraanku umur Aki kira-kira tujuh puluh atau delapan puluh tahun. Sudah tua sekali. Kalau berjalan Aki sangat lambat. Langkahnya setengah langkah-setengah langkah dengan tempo yang sedikit cepat. (Maaf) Langkahnya mirip mainan robot-robotan. Aki berjalan sambil berpegangan di pagar-pagar rumah yang dilaluinya. Wajahnya sudah berkeriput dan rambutnya sudah putih semua.

“Endhog ayam …. ayam edhog ….” teriak Aki menjajakan dagangannya. Suaranya juga pelan tidak terlalu keras.

Baju dan pakaian Aki sudah lusuh. Aki juga hanya beralaskan sandal jepit yang lusuh dan tampak tua juga.

Meskipun sudah tua, Aki tidak mau menggantungkan hidupnya pada orang lain. Dia mencari uang sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kata orang Aki tinggal di Bojong Jengkol, kampung di belakang Jabaru. Dia memiliki beberapa anak, tetapi Aki tidak mau menyusahkan anak-anaknya.

Meskipun sudah tua, Aki tidak seperti orang jompo dan pikun. Aki masih bisa mengurus dirinya sendiri. Bicaranya lancar meskipun kadang-kadang tidak jelas. Pengelihatannya masih cukup jelas. Hanya saja pendengarannya sudah agak berkurang. Kami harus berbicara sedikit berteriak dan dekat dengan telinganya agar Aki tahu apa yang kami katakan.

Aki juga tidak mau dikasihani. Kalau aku mau memberinya uang, Aki akan bilang:

“Aki berjualan. Aki tidak meminta-minta.” katanya sambil menolak pemberian itu.

Trenyuh aku mendengarnya. Sedih, kasihan, kagum, dan bangga bercampur jadi satu dalam hatiku. Rasanya air mata mau keluar dari kedua mataku.

Lalu biasanya aku akan membeli beberapa telur ayam Aki. Telur ayam dijual dengan harga Rp. 1000 per butir. Aki juga cerita kalau telur itu dia ambil dari orang-orang di kampungnya, jadi bukan telur ayamnya sendiri.

Aki juga biasa membeli combro di warung Bu Nur di perempatan Jabaru. Bu Nur cerita, Aki tidak mau kalau diberi combro.

“Aki, ambil saja tidak usah dibayar.” kata Bu Nur sambil membungkus beberapa butir combro.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun