Mohon tunggu...
Abe Shafa
Abe Shafa Mohon Tunggu... Mahasiswa FH

Seorang mahasiswa fakultas hukum yang suka menonton naruto dan membaca berita, bercita cita ingin menjadi profesor di usia 30 tahun

Selanjutnya

Tutup

Politik

Reformasi Pemilu di Indonesia Pasca Putusan MK : Analisis Putusan MK Tentang Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal (Nomor 135/PUU-XXII/2024)

14 Oktober 2025   06:31 Diperbarui: 14 Oktober 2025   06:31 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Krisis Demokrasi Prosedural di Indonesia

Indonesia   merupakan   negara   yang   demokratis   sehingga menjamin kesamaan hak, kewajiban dan kedudukan warga negaranya sama tanpa diskriminasi baik dalam kedudukannya di muka hukum maupun kedudukannya dalam pemerintahan, salah satu sarana pelaksanaan demokratisasi kenegaraan itu adalah terselenggaranya PEMILU (Pemilihan Umum), Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang berasaskan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (LUBERJURDIL).[1] Pemilu  dianggap  penting  karena  merupakan  mekanisme  yang mengatur pergantian atau perpindahan kekuasaan seseorang atau golongan politik tertentu secara legal tanpa penggunaan  kekerasan  maupun  cara-cara  yang  inkonstitusional  sehingga  kemenangan yang diperoleh betul-betul hasil suara mayoritas rakyat dan menjungjung tinggi sikap fair play.

 

Pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia telah lama diteguhkan sebagai mekanisme ketatanegaraan fundamental untuk sirkulasi elite secara damai dan periodik, sesuai amanat Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa "Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali." Ketentuan ini menjadi landasan konstitusional bagi pelaksanaan demokrasi elektoral di Indonesia. Melalui pasal ini, UUD 1945 menegaskan prinsip-prinsip utama demokrasi yang memberikan hak penuh kepada rakyat untuk menentukan wakilnya dalam lembaga-lembaga negara melalui mekanisme pemilihan umum. Asas-asas LUBER JURDIL "langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil" mencerminkan nilai-nilai demokratis dan menjamin keabsahan serta legitimasi politik hasil pemilu.[2] Selain itu, pengaturan bahwa pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali menunjukkan adanya siklus demokrasi yang teratur, memastikan adanya pembaruan kepemimpinan serta akuntabilitas politik di hadapan rakyat. 

 

Sejak reformasi, Indonesia terus berupaya menyempurnakan sistem kepemiluannya sebagai bagian dari mewujudkan negara demokrasi yang partisipatif dengan tetap sesuai amanat UUD 1945. Upaya tersebut terealisasikan melalui penerapan model pemilu serentak, yaitu penyatuan antara Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dalam satu waktu penyelenggaraan. Kebijakan ini dilandasi oleh semangat efisiensi, efektivitas, serta untuk memperkuat legitimasi politik hasil pemilu dengan melibatkan partisipasi rakyat secara lebih luas dan serentak. Pemilu serentak tahun 2019 dan 2024 kemudian tercatat secara historis sebagai penyelenggaraan pemilu satu hari terbesar di dunia (the biggest oneday elections in the world), baik dari segi jumlah pemilih, wilayah pemungutan suara, maupun kompleksitas logistik dan administratifnya.[3] Fenomena ini menunjukkan kematangan demokrasi Indonesia sekaligus menjadi bukti kemampuan negara dalam mengelola proses demokratis yang besar, transparan, dan berintegritas, meskipun tetap dihadapkan pada berbagai tantangan seperti beban kerja penyelenggara dan kesadaran politik masyarakat yang beragam.

 

Secara prosedural, model pemilu serentak menunjukkan keberhasilan dalam mobilisasi massa. Pada Pemilu 2019, angka partisipasi pemilih mencapai 81 persen, melampaui target partisipasi nasional 77,5 persen. Angka ini juga meningkat signifikan dibandingkan Pemilihan Legislatif (Pileg) 2014 (75,10 persen) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 (69,58 persen). Tingginya partisipasi ini menunjukkan antusiasme pemilih, yang disinyalir dipicu oleh penggabungan Pileg dan Pilpres, serta kedekatan emosional pemilih dengan calon legislatif lokal.

 

Namun, di balik keberhasilan prosedural yang tercermin dari tingginya angka partisipasi pemilih, pemilu serentak juga meninggalkan catatan kelam berupa kegagalan substantif dan tragedi kemanusiaan yang menimpa para penyelenggara di lapangan. Kompleksitas pemilu dengan lima surat suara yang harus dihitung secara bersamaan menimbulkan beban kerja luar biasa bagi petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Kondisi ini diperparah oleh minimnya waktu istirahat, tekanan target penyelesaian rekapitulasi, serta keterbatasan fasilitas kesehatan di sejumlah daerah. Akibatnya, ratusan petugas KPPS gugur dan ribuan lainnya jatuh sakit akibat kelelahan ekstrem, sebagaimana dilaporkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan berbagai lembaga pemantau pemilu nasional.[4] Tragedi tersebut menimbulkan refleksi mendalam bahwa keberhasilan demokrasi tidak semata diukur dari tingginya partisipasi rakyat, tetapi juga dari kemampuan negara menjamin keselamatan, kesejahteraan, dan kemanusiaan para penyelenggaranya. Dengan demikian, pemilu serentak menjadi pelajaran penting bagi perbaikan desain kelembagaan dan tata kelola pemilu di masa mendatang agar tidak mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan di balik semangat demokrasi.

Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 Upaya Menjawab Permasalahan  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun