Tentu saja ia jadi bahan olok-olok di media sosial.
"Guru purba!" kata mereka.
"Tak relevan!"
"Mana branding pribadinya?"
Mr. Glitzy sendiri datang dan menawarinya kontrak eksklusif: "Gabunglah bersama kami, Pak Tua. Ajarkan nilai hidup dalam bentuk konten edukatif berdurasi 60 detik! Anda akan viral!"
Mr. Elmo hanya tersenyum tipis.
"Anakku, aku tak butuh dunia tahu aku bijak. Aku hanya butuh satu murid yang memilih jujur, meski tak disorot kamera."
Hari berganti, dan Glitzy Corp semakin menggila. Mereka luncurkan program "Senang Sepanjang Semester", kursus daring untuk guru yang ingin tetap terlihat bahagia walau gajinya seret dan moralnya keropos. Laris manis.
Namun, sesuatu mulai terjadi.
Anak-anak yang selama ini hanya menjadi penonton dalam parade kebahagiaan palsu, mulai lelah.
Mereka bosan dengan guru yang lebih peduli rating YouTube daripada isi hati murid. Mereka mulai diam, menutup ponsel, dan datang ke taman, tempat Mr. Elmo masih mengajar tentang Plato, pohon mangga, dan bagaimana bahagia itu kadang sesederhana mengerti perbedaan antara benar dan mudah.
Suatu malam, pabrik Mr. Glitzy meledak.
Bukan karena sabotase, tapi karena tawa palsu yang menumpuk dan membusuk. Voucher kebahagiaan beterbangan di langit seperti abu-abu impian kosong. Followers tak bisa menyelamatkan hati yang compang-camping.
Mr. Glitzy terduduk lesu. "Tapi... kenapa mereka tak mau beli bahagia lagi?"
