PABRIK TAWA MR. GLITZY
(Dongeng tentang Guru-Guru yang Lupa Bahagia)
By : Habiburrahman.
Di sebuah negeri jauh di balik tumpukan kertas kerja dan absen daring, berdirilah kota bernama Selfilandia. Kota itu tampak megah, penuh warna, dan selalu benderang, sebab setiap penduduknya diwajibkan tersenyum, tertawa, dan tampak bahagia. Bukan karena mereka benar-benar bahagia, tentu saja, tetapi karena pemerintah kota menyatakan: "Kesedihan adalah kegagalan nasional!"
Di pusat kota, berdirilah sebuah gedung tinggi berkilau: Glitzy Corp, Pabrik Kebahagiaan Instan. Pemiliknya, Mr. Glitzy, adalah seorang pria berjas payet, gigi kinclong, dan suara seperti iklan jual obat kuat.
"Selamat datang di pabrik tawa, tempat di mana semua rasa bisa dibungkus jadi kemasan 'senang'!" serunya setiap pagi.
Ia menjual kebahagiaan dalam berbagai bentuk: likes, followers, tunjangan sertifikasi, piagam pengakuan, dan tentu saja gengsi.
Yang paling laris? Produk bernama "Guru Glamor Series", lengkap dengan wajah tersenyum di spanduk dan saldo e-wallet yang terus bertambah jika mengajar sambil viral.
Dan begitulah, para guru pun mulai berubah.
Mereka tak lagi datang lebih pagi demi menyambut siswa dengan semangat, tapi demi menyiapkan tripod dan lighting. Ruang kelas disulap menjadi studio konten. Anak-anak bukan murid lagi, tapi figuran. Buku-buku dibiarkan berdebu, karena yang penting adalah: "Kelas ini trending di TikTok!"
Namun di ujung kota, ada satu guru yang berbeda.
Namanya Mr. Elmo, guru sepuh berambut putih, yang masih percaya bahwa pendidikan bukan pertunjukan. Ia mengajar di bawah pohon, mengandalkan cerita dan keheningan, bukan WiFi dan efek suara.
"Anak-anak," ucapnya suatu hari, "bahagia itu bukan di spanduk atau tunjangan. Tapi di hati yang tak mengingkari akal budinya sendiri."