Mohon tunggu...
AbieLabieba
AbieLabieba Mohon Tunggu... Guru - Belajar sebagai cara hidup

Sekolah Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Produktivitas Tindakan dari Kesadaran Mekanis Menuju Otonom

2 Mei 2021   06:15 Diperbarui: 2 Mei 2021   06:33 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

OPTIMALISASI PRODUKTIVITAS TINDAKAN DARI KESADARAN MEKANIS MENUJU KESADARAN OTONOM
(Sebuah rekonstruksi semangat pembelajar menuju kemerdekaan mengajar abad 21)

 .

Oleh: Habiburrahman
Guru SMA Negeri 1 Narmada

"Give me six hours to chop down a tree and I will spend the first four sharpening the axe." (Abraham Lincoln)

 

"Abi". Itulah panggilan akrabku sebagai salah seorang pengajar di salah satu Sekolah Menengah Atas di Nusa Tenggara Barat. Tepat di hari guru 2 Mei 2021 kali ini, Aku ingin bersedu sedan sebagai bagian dari kegelisahanku sebagai seorang guru selama ini. 

To the point alias langsung saja... Puncak kegelisahanku akhir-akhir ini bahwa; siswa-siswiku kurang memiliki perhatian yang sungguh-sungguh terhadap apa yang seharusnya mereka kerjakan. Bukan hanya urusan kebiasaan belajar, namun sesuatu yang tidak terkait dengan mata pelajaran sama sekalipun mereka tidak mengerti apa yang seharusnya mereka lakukan setiap hari bahkan setiap waktu dari keseluruhan aktifitas mereka. 

Entah pada saat sekolah maupun ketika berada di luar sekolah. Tidak heran bila hampir semua tugas dan pembelajaran apalagi dimasa pandemic Covid-19 ini mereka hanya melakukannya dengan sekenanya saja.

Anak didikku belajar hanya ketika menjelang ujian saja, pekerjaan dan tugas-tugas yang kuberikan diselesaikan menjelang batas akhir waktu, bahkan beberapa tidak pernah menggubris tugas-tugas yang pernah diberikan selama satu semester sebelum ujian. Tugas-tugas hampir tidak dimulai-mulai. 

Hasilnya...? Tugas-tugas jarang bisa dilakukan dengan kegembiraan dan penuh semangat. Kesungguhan bukanlah ciri dari aktivitas keseharian mereka. Semangat dan gairah hanya muncul dalam aktifitas-aktifitas lain selain tugas-tugas yang seharusnya menjadi prioritas yang harus mereka kerjakan.

Tentu sikap anak didikku ini bukan disebabkan karena kesengajaan. Kekurangsungguhan mereka lahir sebagai akibat kekurangmampuan mereka dalam membangun kehadiran diri dengan perhatian dan konsentrasi yang diperlukan sesuai dengan tugas-tugas yang mereka hadapi.

Sebenarnya, kekurangsungguhan dalam artian sebagaimana yang mereka lakukan ini sejatinya terjadi pula pada aktivitas-aktivitas yang bersifat vertikal, sekalipun mungkin sangat jarang untuk diangkat sebagai isu serius apalagi menarik untuk diperbincangkan. 

Misalnya yang terkait dengan kekhusu'an dalam setiap shalat, focus dan konsentrasi dalam setiap ritual-ritual keagamaan atau dalam bentuk lainnya. Yang terbayang dalam pikiran siswa-siswiku adalah bahwa; yang bisa bersungguh-sungguh dalam aktivitas vertikal hanyalah kelompok khusus saja, yang mampu berkonsentrasi hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu saja. 

Semua itu menjadi sangat elitis; sedangkan mayoritas, sebagaimana dalam aktivitas horizontal atau social mereka, semua dilakukan hanya karena keterpaksaan semata, kebetulan dan sekedarnya saja.

Kewajiban dan tugas belajar bagi mereka hanya dirasakan sebagai beban, kalau bisa, harus dilakukan dengan menggunakan energi sesedikit mungkin tanpa harus lelah untuk melakukan seluruh tugas-tugas yang dibebankan kepada mereka.

Kekurangmampuan mereka dalam membangun perhatian untuk melaksanakan tugas, apalagi untuk durasi yang agak panjang, adalah sebenarnya problem umum sebagai manusia (human conditions). Bila ada kesan bahwa ternyata siswa-siswiku, khususnya sekolahku yang besar ini ternyata serius dalam melaksanakan tugas-tugas yang diberikan, sebagian besar siswanya aktif dalam setiap kegiatan, ternyata semua itu bukanlah karena mereka melakukannya dengan penuh kesadaran. 

Namun, mereka lebih takut karena hal-hal di luar dari diri mereka; seperti takut dimarahi gurunya, takut karena orang tua atau bahkan diancam nilainya dan banyak alasan yang memaksa mereka untuk menyelesaikan tugas-tugas tersebut. Dan semua dilakukan dengan tanpa adanya kesadaran dan kehadiran diri yang menyadari bahwa yang mereka lakukan adalah demi kebaikan diri pribadinya dan demi masa depan mereka. 

Bahkan di beberapa diskusi dengan salah seorang dosen di salah satu perguruan tinggi ternama di NTB (M.Husni Mu'adz, MA,Ph.D) memberikan pandangan terkait hal ini ; "dalam psikologi, topik-topik yang berkaitan dengan attention deficit, inattentional blindness, attention disorder, dan lain lain mendapat perhatian khusus. 

Masyarakat di Negara-negara yang lebih maju terkesan lebih serius dalam melakukan tugas tugas mereka, itu bukan karena psikologi mereka lebih sehat dan lebih mudah fokus dari kita. Melainkan sebabnya lebih karena sistem tempat mereka berada lebih mampu memberikan "efek jera" kepada warganya. 

Mahasiswa yang kurang prestasinya tidak akan mendapatkan surat rekomendasi yang baik dari dosennya sehingga ia akan kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang diinginkan atau untuk melanjutkan studi. Karyawan yang kurang perform akan mudah diturunkan jabatannya atau dipecat. Bila sudah dipecat ia tidak akan mudah mendapatkan pekerjaan baru. Jadi di sana ketidak sungguhan memiliki ongkos yang mahal. 

Untuk menghindari hal ini, setiap orang harus berjuang untuk berhasil, tentu dengan penuh ketegangan dan stress. Rekreasi atau hiburan atau minum-minum adalah kebutuhan mereka untuk mengurangi ketegangan, sekalipun efeknya hanya untuk sementara. Fenomena kegilaan atau bahkan bunuh diri menjadi semakin umum karena tidak setiap orang bisa berhasil mengatasi tuntutan tugas kesehariannya, apalagi untuk berhasil keluar menjadi pemenang." (Diskusi tahun 2011).

Demikian juga dengan siswa-siswi di sekolahku, ternyata juga menyikapi tugas-tugas mereka dengan terpaksa. Keterpaksaan dalam melakukan tugas adalah gangguan dari penyakit yang sama yaitu attention disorder (kelainan perhatian). Kesadaran yang bekerja dengan tidak normal inilah yang disebut sebagai kesadaran mekanik. Dikatakan mekanik karena aktivitas digerakkan oleh mesin otak atau fikiran tanpa melibatkan atensi sehingga nilai aktivitasnya sama dengan kejadian-kejadian (events) biasa, bukan masuk dalam kategori tindakan.

Sebagai contoh; salah seorang siswa sedang tertidur pulas saat pembelajaran berlangsung. Di saat itu artinya kesadarannya sedang inert (tidak berfungsi). Mungkin saking nyenyak dan pulasnya, tidak sadar dirinya terbawa mimpi dan terjatuh dari kursi karena bermimpi dikejar macan yang ingin menerkamnya. 

Dalam kondisi seperti ini, sesungguhnya siswa tersebut tidak mampu mengendalikan pergerakan mesin yang ada dalam struktur otak dalam mimpinya. Itulah sebabnya tidak semua mimpi itu memiliki cerita yang masuk akal. Mesin saat itu bekerja tanpa kendali. Di saat dia terjaga, kesadarannya kembali aktif dan dengan kembalinya kesadaran itu secara potensial kembali bisa menggunakannya untuk mengendalikan mesin yang ada dalam dirinya tersebut.

Sebuah kasus lain yang berkaitan dengan kesadaran diri sebagai jalan keluar dari kesadaran mekanis menuju kesadaran yang otonom yang kurang lebih demikian kisahnya; Salah seorang dari siswaku yang secara tiba-tiba mengingat seseorang yang beberapa tahun lalu membuatnya sangat tersinggung, mengecewakannya dan hal itu sungguh membuatnya sangat marah. 

Di saat proses pembelajaran sedang berlangsung, karena ingatan tersebut muncul kembali di tengah-tengah pembelajaran, dia menjadi marah-marah dan menggerutu sendirian di dalam kelas yang membuat siswa-siswi lain menjadi terganggu dan terheran-heran mengapa tiba-tiba sikapnya seperti demikian. 

Kemarahan seperti itu apakah dikatakan sebagai tindakan yang dilakukan dengan kesadaran diri siswa tersebut? Ataukah tindakan tersebut bukanlah tindakan sadar karena dia tidak melakukannya dengan intensi dan atensi?. Inilah kesadaran mekanik yang sedang dialami oleh siswa tersebut bahkan sering dialami oleh kita dan banyak orang. Artinya kesadaran otonom tidak berfungsi kala siswa tersebut sedang marah dengan ingatan masa lalu yang dibayangkan ketika berada di dalam kelas tadi.

Di atas, saya telah bercerita panjang lebar terkait kasus yang siswa-siswi saya alami beberapa waktu lalu di beberapa sekolah di tempat tugas berbeda. Ada hal lain yang jauh lebih menarik dari hanya sekedar cerita siswa-siswi saya di atas. Bahwa ternyata yang jauh lebih parah adalah bahwa kita, kami dan saya khususnya secara pribadi mengalami hal ini sejak lama dan hampir setengah dari kehidupan produktif saya menjadi Guru (mengacu pada usia produktif masa pensiun ASN) berlangsung secara sia-sia dan tanpa sadar bahwa telah terjadi patologi dalam membangun kesadaran terhadap tugas-tugas saya yang seharusnya.

Pertanyaannya: kenapa penyakit ini bisa lahir dan apa kira kira penyebabnya? Potensi jawabannya ada pada pola relasi kesadaran dengan mesin: terjadi kompetisi dalam setiap kegiatan tentang siapa yang akan menjadi pengendali, mesin atau individu dari pemilik mesin.

Ketika saya sudah berniat untuk mengajar dan mulai memberikan perhatian pada jadwal pelajaran pada jam pertama, tiba tiba saya ingat bahwa pagi ini adalah hari rabu di mana ada pasar murah yang selalu menarik untuk dikunjungi dalam rangka persiapan kebutuhan seminggu ke depan. Saya kemudian memilih berangkat ke pasar dan tidak jadi melanjutkan mengajar dan cukup menitipkan tugas kepada guru piket. Yang menang dalam kompetisi ini bukan kesadaran saya tapi mesin saya. Mesin atau otak saya tidak sama dengan saya. Otak saya adalah sesuatu yang saya miliki, dan tidak identik dengan saya yang berkesadaran sebagai pengontrol mesin saya tersebut. 

Kompetisi seperti ini umum terjadi di setiap kita mulai memberikan perhatian pada sesuatu yang perlu kita lakukan. Kesadaran akan menjadi pengontrol dari mesin bila ada pressure tertentu seperti ujian sudah dekat, pengiriman laporan terakhir pada minggu ini, takut akan diberi sangsi oleh atasan dan lain lain.

Pertanyaannya: Kenapa mesin pikiran menjadi liar mengganggu perhatian dan konsentrasi dan bukan justru berfungsi sebagai pelayan dalam setiap aktivitas kegiatan kita dan bagaimana cara terbaik untuk mengatasinya?

Jadi setidaknya terdapat dua hal yang harus dilakukan tentang bagaimana agar produktivitas tindakan kita sebagai siswa, guru dan siapapun yang ingin memberikan perhatian khusus terhadap setiap aktivitasnya agar lebih terarah dengan hasil kerja yang maksimal yaitu tentang pertama; bagaimana meminimalisir adanya gangguan dari konsentrasi dan perhatian kita terhadap tugas dan pekerjaan kita. Dan yang kedua; sekaligus menambah willpower agar konsentrasi bisa mengalahkan gangguan gangguan yang muncul.

Dalam sebuah diskusi rutin di Sekolah Perjumpaan yang jadwal pertemuannya hampir setiap minggu pada Jum'at malam, muncul beberapa pandangan terkait teknik dan metode yang dapat dilakukan dalam melatih atensi (perhatian) sebagaimana yang saya maksudkan di atas. Ada yang berat ada pula yang ringan, tergantung aliran yang diikuti. 

Dalam diskusi tersebut beberapa kawan mulai memberikan pendapat tentang banyak hal dari sekian pengalaman bacaan masing-masing. Amanda Palmer, seorang penyanyi terkenal, misalnya, berlatih membangun willpower dan konsentrasi dengan cara aneh: berdiri bagaikan patung tidak bergerak masing-masing selama 90 menit beberapa kali dalam sehari dan hampir setiap hari di Harvard Square selama 6 tahun! Atau seorang stuntman David Blaine yang berlatih dengan cara sangat berbahaya: berdiri di atas pilar sebuah gedung lantai 8 dan mampu melakukannya selama 35 jam.

Tentu saja, jika David Blaine lalai sedikit saja, akan berisiko jatuh dan meninggal. Ada juga teknik yang lebih mudah dan tidak beresiko, seperti melakukan meditasi dengan cara menghitung setiap nafas dari 1 sampai 10, dan diulangi lagi berkali-kali dengan durasi waktu tertentu dan harus dilakukan secara rutin setiap hari. Teknik meditasi (disebut: one pointed meditation) dengan berbagai varian sekarang ini umum dipraktikkan termasuk oleh para ahli psikologi di dunia barat.

Hasil dari latihan-latihan seperti di atas beragam, ada yang berhasil dan sangat membantu mengatasi psychic disorder yang di alami, namun ada juga yang masih mengeluhkan masih munculnya pengalaman distortif lama justru tatkala sedang berlatih membangun konsentrasi. Walhasil hingga kini belum ditemukan cara belajar yang ideal (murah dan mudah) yang menjamin keberhasilan yang relatif telah diterima mayoritas para ahli.

Di sini saya hanya bisa menjawab dengan cerita empirik dari orang orang biasa yang mengalami fenomena yang dalam kajian ilmu psikologi disebut inattentional blindness, yaitu adanya kebutaan (persepsi) karena tiadanya perhatian.

Ceritanya begini; Dalam sebuah eksperimen sejumlah orang diminta memperhatikan sebuah permainan bola basket dan mereka diminta menghitung berapa kali perpindahan bola terjadi dari satu pemain ke pemain lain dalam durasi tertentu. Di tengah tengah permainan berlansung, seseorang tinggi besar masuk lapangan dengan kostum gorila dan menari-nari di dalamnya. 

Setelah permainan selesai, setiap individu (penonton) ditanya: siapa yang melihat gorila selama permainan? Hasilnya menarik: kira kira 25% dari mereka mengaku tidak melihat gorila sama sekali. Eksperimen seperti ini dengan berbagai varian telah dilakukan dengan hasil yang kurang lebih sama. 

Apa artinya fenomena ini? Kenapa sebagian besar (75%) penonton justru melihat gorilla, sedangkan 25% tidak melihatnya? jawabannya bersifat truism atau kebenaran naluri: anda tidak bisa melihat apa yang anda tidak lihat. Ini sebuah kebutaan. Karena seseorang tidak memiliki perhatian pada stimulus (gorila), maka mereka tidak melihat adanya gorila. 

Fenomena ini disebut inattentional blindness yang dialami 25% peserta. Yang menarik adalah kesimpulan dari fenomena ini, yaitu: Pertama, tidak ada persepsi tanpa atensi. Sekalipun ada stimulus di retina mata tetapi bila anda tidak memberikannya perhatian maka yang terjadi adalah: you are looking but not seeing. Ini murni operasi mesin. 

Kedua, kenapa fenomena inattentional blindness ada? Kenapa 75% dari penonton tidak mengalaminya dan hanya 25% yang mengalaminya?, maka kita akan mendapatkan jawaban dari makna lain dari kesimpulan yang sama: persepsi muncul karena adanya atensi. 25% subyek tidak melihat gorila karena mereka memberikan atensi penuh pada sesuatu yang lain: pergerakan bola dari satu ke yang lainnya. Mereka begitu tenggelam dalam kegiatan ini sehingga tidak menyadari ada sesuatu yang lain sedang terjadi. Karena mereka hanya memberikan perhatian penuh pada x, mereka abai (lalai) atau buta pada y. 

Kenapa hanya 25%? Karena hanya sebanyak inilah rata rata orang yang setiap harinya hidup dalam penuh perhatian: hidup menggunakan sebahagian besar waktu efektif mereka untuk bekerja sungguh-sungguh dengan penuh perhatian. Bagaimana dengan yang 75%? Inilah kelompok yang mengalami attention disorder. Demikian pula kasus-kasus yang ada di dunia pendidikan; Dari rumah berangkat untuk sekolah, ketika berada di sekolah, hati mulai gelisah, fikiran berkembang ke mana mana, waktu belajar di sekolah terasa lama sekali; atensi pertama-tama pada x, kemudian pada y, kemudian pada z, dan seterusnya.

Di sini, karena atensi tidak digunakan, maka mesin atau otak dibiarkan bekerja sendiri sehingga melahirkan struktur psikis tertentu yang nantinya berfungsi dengan efektif mengganggu atau membelokkan perhatian dan konsentrasi di setiap kita melakukan tugas-tugas penting di ranah aktivitas. Dengan kata lain, membiarkan kegiatan-kegiatan tanpa atensi kesadaran, sama dengan sedang memelihara berbagai jenis pengganggu dan penghambat dari lahirnya kegiatan-kegiatan yang produktif.

Yang saya tawarkan adalah: diperlukan pengawalan terhadap segala aktivitas dalam setiap kegiatan yang operasinya memerlukan penggunaan atensi atau perhatian secara khusus. Setiap kegiatan bisa dilakukan tersendiri atau bisa bersamaan dengan kegiatan kegiatan lain yang bersifat mekanis. Dengan adanya tindakan atensional ini, bila syarat-syaratnya terpenuhi, operasi mesin bukan saja tidak akan lagi bekerja tanpa kendali, tetapi juga bisa berfungsi membantu efektivitas tujuan dari kegiatan-kegiatan yang ada di ranah aktivitas dan tentu akan jauh lebih produktif.

SELAMAT HARI GURU 2 MEI 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun