Dunia yang Terbalik
Dunia sedang berjalan dengan arah yang berlawanan dari sejarahnya sendiri. Apa yang dulu dianggap "kanan" kini berteriak tentang keadilan sosial dan patriotisme, sementara yang dulu mengibarkan panji "kiri" justru membela pasar bebas dan globalisasi tanpa batas. Di Amerika Serikat, Partai Republik yang dalam sejarahnya diasosiasikan dengan kapitalisme konservatif kini menjadi rumah bagi nasionalisme ekonomi dan moralitas komunitarian. Sebaliknya, Partai Demokrat yang dahulu menjadi corong pekerja dan kaum tertindas, kini bersekutu erat dengan raksasa teknologi, lembaga keuangan, dan industri media global. Dunia tampak terbalik---namun sesungguhnya struktur kekuasaan tidak pernah berubah: kapital global tetap memegang kendali, hanya wajah dan benderanya yang berganti.
Pasca-Perang Dingin, ketika Tembok Berlin runtuh dan Uni Soviet bubar, dunia menyambut era yang diyakini sebagai kemenangan total liberalisme. Francis Fukuyama dalam The End of History and the Last Man menulis dengan penuh keyakinan bahwa sejarah ideologi telah berakhir; liberal-demokrasi adalah puncak evolusi politik manusia. Tapi tiga dekade kemudian, tesis itu hancur oleh kenyataan. Dari Brexit hingga Trump, dari Perang Dagang AS--Tiongkok hingga konflik Ukraina dan Timur Tengah, dunia justru masuk ke babak baru: post-liberal disorder --- kekacauan pasca-liberalisme, di mana sistem lama runtuh tapi penggantinya belum lahir.
Dalam kekacauan ini, batas kiri dan kanan menjadi kabur. Liberalisme yang dulu menjanjikan kebebasan berubah menjadi instrumen dominasi ekonomi; sosialisme yang dulu bicara pemerataan kini menjadi jargon teknokratis tanpa basis sosial. Dunia kehilangan "kompas moral" politiknya. Di sinilah kita menyaksikan senjata baru yang lebih berbahaya dari perang militer: perang makna.
Carl Schmitt, dalam The Concept of the Political, menegaskan bahwa politik sejatinya adalah tentang membedakan kawan dan lawan. Namun di era pasca-liberal, perbedaan itu dihapus. Tidak ada lagi musuh, hanya konsumen. George Lakoff dalam Moral Politics menambahkan bahwa bahasa politik adalah metafora moral yang membentuk cara kita berpikir. Ketika makna dikaburkan, publik kehilangan kemampuan menilai mana keadilan, mana penindasan.
Inilah bentuk kolonialisme baru --- kolonialisme semantik --- ketika istilah "progresif", "hak asasi", "demokrasi", dan "liberal" digunakan untuk membenarkan dominasi global. Negara-negara kehilangan arah karena perdebatan politiknya hanyalah perang label, bukan perjuangan substansi. Di titik ini, muncul pertanyaan mendasar: Bagaimana sebuah bangsa dapat mempertahankan kedaulatannya ketika makna politiknya disabotase oleh kekuatan global?
Pertanyaan ini bukan hanya relevan bagi Amerika Serikat yang terbelah antara Republik dan Demokrat, tapi juga bagi Indonesia --- negara yang konstitusinya mengamanatkan kedaulatan rakyat, ekonomi kerakyatan, dan kemanusiaan yang adil. Di tengah dunia yang terbalik, bangsa-bangsa yang tidak memahami makna sejati dari ideologi dan moral politiknya akan mudah kehilangan kendali atas dirinya sendiri.
Paradoks Partai Amerika: Republik yang Jadi Kiri, Demokrat yang Jadi Kanan
Sejarah terkadang berputar aneh, dan Amerika hari ini adalah panggung dari paradoks politik terbesar abad ke-21. Partai Republik yang dulu menjadi simbol kapitalisme pasar bebas kini menolak globalisasi, membela pekerja dalam negeri, dan menyerukan proteksionisme ekonomi---posisi yang dulu dipegang oleh kaum kiri. Sementara Partai Demokrat, yang lahir dari gerakan rakyat pekerja dan serikat buruh, justru menjelma menjadi kendaraan politik bagi elite finansial, raksasa teknologi, dan industri global---posisi yang identik dengan "kanan neoliberal". Dunia terbalik, tapi bukan tanpa alasan: ini adalah konsekuensi dari krisis internal liberalisme itu sendiri.
Republik di bawah figur Donald Trump bukan sekadar gerakan politik, tapi gejala sosial dari "kelas yang terlupakan". Di balik retorika kasar dan slogan "Make America Great Again", ada narasi struktural yang kuat: pembelaan terhadap industri nasional, kritik terhadap kesepakatan perdagangan bebas, dan serangan terhadap lembaga global seperti WTO, WHO, dan NATO. Trumpisme adalah bentuk baru nasionalisme ekonomi yang mirip dengan developmentalism di Dunia Ketiga --- membangun kemandirian industri, menolak dominasi korporasi global, dan menegakkan moralitas komunitarian. Ia bukan kiri dalam ideologi klasik, tapi kiri dalam semangat: membela yang lemah dari kekuasaan kapital tanpa batas.