Istilah Washington Consensus muncul pada akhir 1980-an, ketika ekonom John Williamson merangkum sepuluh paket kebijakan ekonomi yang diyakini sebagai resep pemulihan bagi negara-negara berkembang. Disebut Washington karena paket itu lahir dari kesepahaman lembaga-lembaga ekonomi yang bermarkas di Washington D.C.---yakni IMF (International Monetary Fund), Bank Dunia, dan Departemen Keuangan Amerika Serikat.
Isi konsensus ini jelas beraroma liberalisasi ekonomi: disiplin fiskal, pengurangan subsidi, reformasi pajak, liberalisasi perdagangan, deregulasi, privatisasi BUMN, hingga perlindungan hak kepemilikan. Tujuan resminya adalah mendorong stabilitas ekonomi dan pertumbuhan jangka panjang. Namun di banyak negara, paket ini kemudian menuai kritik karena dianggap lebih menguntungkan kepentingan pasar global ketimbang melindungi rakyat kecil.
Krisis Asia 1997--1998 dan Jalan Indonesia ke IMF
Indonesia menjadi salah satu negara yang paling keras dihantam krisis keuangan Asia. Rupiah yang semula stabil di sekitar Rp 2.500 per dolar anjlok hingga menembus Rp 15.000. Gelombang capital outflow membuat perbankan lumpuh, inflasi melonjak, dan dunia usaha ambruk. Jutaan pekerja kehilangan mata pencaharian, sementara harga sembako melesat tajam.
Dalam kondisi itu, pemerintah Indonesia pada Oktober 1997 meminta bantuan IMF. Sebagai syarat bantuan, IMF membawa paket kebijakan yang sejatinya mencerminkan Washington Consensus.
Isi Paket IMF di Indonesia
Beberapa poin utama yang disyaratkan IMF saat itu adalah:
1. Disiplin fiskal -- defisit anggaran dipersempit, subsidi BBM, listrik, dan pangan dipangkas.
2. Liberalisasi keuangan -- suku bunga dilepas tinggi demi menarik modal asing, tapi justru membuat kredit mahal dan dunia usaha kian tercekik.
3. Deregulasi dan privatisasi -- regulasi era Orde Baru dipangkas, sejumlah BUMN diarahkan untuk diprivatisasi.