Mohon tunggu...
Abdul Wahid Ola
Abdul Wahid Ola Mohon Tunggu... Tenaga Ahli Anggota Komisi III DPR RI 2019-2024

Sedang Belajar Membaca

Selanjutnya

Tutup

Politik

RUU Perampasan Aset: Jalan Terjal Melawan Koruptor!

19 September 2025   20:58 Diperbarui: 19 September 2025   20:58 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menyampaikan Materi Politik (Foto, Abdul Wahid Ola (Sumber: Dok. Pribadi ))

Wacana pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset kembali mencuat. Pemerintah bersama DPR berencana memasukkannya ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025, setelah 17 tahun tertunda.


RUU ini pertama kali disusun pada 2008 oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dengan tujuan memperluas wewenang negara dalam menyita harta pelaku tindak pidana. Sejak itu, draf RUU Perampasan Aset terus bergulir, tetapi tak kunjung menjadi undang-undang.

Urgensinya tak terbantahkan. RUU ini diharapkan menutup celah hukum yang selama ini membuat banyak hasil korupsi gagal dipulihkan untuk negara. Pertanyaan mendasarnya: apakah kali ini DPR dan pemerintah sungguh-sungguh, ataukah RUU ini hanya akan kembali menjadi "pajangan politik" dalam wacana pemberantasan korupsi?

Dalam teori hukum pidana modern, pemidanaan tidak semata bertujuan mencegah (deterrence) atau membalas (retribution), melainkan juga memulihkan (restoration). Pengalaman global pun menunjukkan strategi follow the money sebagai kunci memberantas kejahatan ekonomi. Tanpa kemampuan menyita dan merampas aset, vonis penjara hanya berarti hukuman fisik, tanpa mengembalikan kerugian negara.

Indonesia sejatinya memiliki fondasi kuat. Melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, Indonesia meratifikasi United Nations Convention against Corruption (UNCAC) 2003. Konvensi ini, khususnya Bab V, menegaskan asset recovery sebagai pilar utama pemberantasan korupsi. UNCAC bahkan menyebut pemulihan aset sebagai fundamental principle. Namun, hampir dua dekade setelah ratifikasi, implementasinya masih minim. Tak ada peraturan pelaksana yang jelas, apalagi perangkat hukum yang memungkinkan perampasan aset tanpa menunggu putusan pidana inkracht.

Kekosongan hukum inilah yang hendak dijawab oleh RUU Perampasan Aset. Selama ini, praktik perampasan aset hanya bergantung pada mekanisme pembuktian tindak pidana yang berbelit. Akibatnya, banyak aset hasil korupsi lenyap, dipindahtangankan, atau disembunyikan melalui perusahaan cangkang di luar negeri. Asset Recovery Handbook terbitan StAR (kolaborasi Bank Dunia dan UNODC) menekankan bahwa keberhasilan pemulihan aset ditentukan oleh kecepatan penyitaan dan fleksibilitas hukum, termasuk melalui skema perdata atau Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCBAF).

Konsep NCBAF menemukan relevansinya di sini. Mekanisme ini memungkinkan negara merampas aset hasil kejahatan tanpa menunggu putusan pidana. Gugatan diarahkan pada aset itu sendiri (in rem), bukan pada pemiliknya. Fokusnya jelas: asal-usul harta yang tidak sah, terlepas dari status pelaku, apakah buron, meninggal, atau kebal hukum.

Dengan NCBAF, aset tetap dapat disita demi kepentingan rakyat, meski perkara pidana macet di pengadilan. Ironisnya, meski Indonesia telah meratifikasi UNCAC sejak 2006, hingga kini implementasinya sebatas draf RUU yang tak kunjung disahkan.

Belajar dari negara lain, ada banyak model yang bisa diadopsi. Inggris dengan Proceeds of Crime Act (POCA) 2002 menggabungkan mekanisme pidana dan perdata. Amerika Serikat bahkan memiliki jalur civil forfeiture yang memungkinkan penyitaan aset tanpa vonis pidana, meski menuai kritik atas risiko pelanggaran hak. Italia memilih jalur preventif dengan menyita aset mafia bahkan sebelum perkara mencapai pengadilan. Semua model punya kelebihan dan kelemahan. Namun intinya sama: aset kejahatan tidak boleh dibiarkan aman di tangan pelaku hanya karena prosedur pidana lamban atau rumit.

Dua Ujian Besar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun