Sebuah Pandangan Konseptual dari Buku Saya :Â
 "Optimisme is Power: Dari Kegaduhan Menuju Inovasi, Hindari Tenggelam dalam Distraksi"
Setahun yang Penuh Sorot Kamera
Tanggal 20 Oktober ini, pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka genap berusia satu tahun.
Satu tahun yang terasa cepat, riuh, dan penuh ujian.
Dari janji makan siang gratis hingga wacana transformasi ekonomi,
semuanya berlari di bawah sorotan publik dan kamera yang tak pernah padam.
Namun yang menarik bukan sekadar capaian kebijakan,
melainkan bagaimana bangsa ini bereaksi --- bagaimana opini terbentuk, persepsi digiring, dan makna sering hilang di tengah kebisingan.
Di era digital ini, politik bukan lagi soal keputusan di ruang rapat,
tapi soal siapa yang lebih cepat menguasai timeline.
Dari Rule of Law ke Rule of Trend
Dulu, bangsa ini berjuang menegakkan rule of law --- negara berdasar hukum.
Kini kita hidup di zaman rule of trend --- negara berdasar yang viral.
Yang dianggap benar bukan lagi apa yang adil, tapi apa yang ramai.
Kebijakan publik pun kerap diukur dari seberapa sering jadi bahan perbincangan,
bukan dari seberapa besar dampaknya bagi rakyat.
Media sosial menilai bukan lewat data, tapi lewat durasi tontonan.
Sayangnya, sebagian media arus utama ikut arus algoritma.
Berita bukan lagi pemandu arah, melainkan pengulang noise digital.
Padahal media sosial boleh bebas, tapi media profesional harus beretika.
Ketika keduanya sama-sama menari di irama algoritma,
maka bangsa ini kehilangan kompas kebenaran.
MBG --- Antara Niat Baik dan Distraksi Publik
Program MBG (Makan Bergizi Gratis) adalah contoh nyata dari tantangan ini.
Sebuah ide besar yang sebenarnya punya potensi strategis ---
menurunkan angka stunting dan memperkuat sumber daya manusia sejak usia dini.
Standar gizi yang ditetapkan oleh WHO Â menegaskan,
perbaikan gizi masa anak-anak adalah fondasi kesehatan publik dan kualitas generasi produktif.
Sayangnya, ketika MBG masuk ke ruang digital, maknanya justru tenggelam dalam gurauan, perdebatan, bahkan politisasi.
Kebijakan bergizi tinggi berubah menjadi konten viral rendah nutrisi.
Fokus publik teralihkan dari substansi gizi dan kesehatan anak ke siapa pengadaan kateringnya.
Padahal jika dikelola serius dengan pendekatan berbasis data,
dan melibatkan UMKM pangan lokal dengan pengawasan standar WHO,
MBG bisa menjadi program unggulan nasional dalam penanggulangan stunting.
Sebuah langkah nyata menuju pembangunan manusia yang benar-benar "bergizi," bukan sekadar populer.
Pemerintah di Era Algoritma
Pemerintahan Prabowo--Gibran menghadapi tantangan baru: bukan sekadar oposisi, tetapi ekosistem atensi.
Rakyat kini bukan hanya pembaca, tapi juga produsen opini.
Satu video pendek bisa mengubah kepercayaan publik lebih cepat daripada laporan menteri.
Program besar pun bisa kehilangan makna hanya karena framing yang salah atau terlalu emosional.
Itulah risiko rule of trend:
pemerintahan bisa sibuk membenarkan persepsi, bukan memperbaiki substansi.
Untuk bertahan di era ini, pemerintah perlu disiplin narasi dan konsisten komunikasi.
Kebijakan baik harus dikawal dengan penjelasan yang jernih,
bukan sekadar slogan dan visualisasi seremonial.
Media: Antara Kebebasan dan Tanggung Jawab
Media online dan televisi harus kembali ke fungsi awalnya: mendidik dan menenangkan publik.
Kebebasan pers adalah pilar demokrasi, tapi juga ujian moral bagi jurnalisme.
Ketika semua sibuk mengejar rating, kebenaran kehilangan tempat.
Kita butuh redaksi yang berani tenang di tengah hiruk pikuk,
yang tidak takut kalah cepat, tapi berani tampil paling jernih.
Bangsa besar tidak lahir dari berita yang keras,
tapi dari informasi yang benar.
Dari Kegaduhan Menuju Inovasi
Dalam buku Optimisme is Power, saya menulis:
"Kegaduhan adalah tanda energi. Tapi energi tanpa arah hanya menimbulkan kelelahan kolektif."
Hal yang sama berlaku bagi pemerintahan ini: stabilitas saja tidak cukup.
Kita butuh arah inovasi yang jelas dan berkelanjutan.
Popularitas tidak bisa menggantikan produktivitas.
Kebijakan publik harus kembali berpijak pada data, bukan drama.
Dan komunikasi pemerintah perlu menghidupkan optimisme rasional,
bukan sekadar euforia sesaat.
Tantangan Setahun ke Depan
Tahun pertama adalah masa adaptasi,
tapi tahun kedua harus jadi masa percepatan dan konsolidasi.
Ekonomi butuh kejelasan arah, sosial butuh rasa percaya,
dan rakyat butuh bukti bahwa negara hadir dengan pikiran jernih, bukan reaksi impulsif.
Untuk itu, pemerintah perlu berani melawan logika tren dan kembali ke rule of thought ---
kebijakan yang disusun dengan riset, bukan retorika.
Optimisme sebagai Daya Bangsa
Kita hidup di era di mana yang viral lebih cepat dari yang vital.
Namun bangsa ini tidak boleh kehilangan fokusnya.
Optimisme harus dijaga, tapi dengan kesadaran, bukan kepolosan.
Satu tahun pemerintahan Prabowo--Gibran memberi pelajaran penting:
bahwa pembangunan tak bisa diserahkan pada algoritma,
dan kepercayaan publik tak bisa dibangun dengan trending topic.
"Optimisme adalah daya, bukan sekadar doa.
Karena yang viral akan lewat,
tapi arah yang benar akan tetap abadi."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI