"Kalau bukan kita, siapa lagi?"
Kalimat itu sering kali terucap saat seorang saudara datang meminta bantuan---bukan untuk meminjam uang, tapi untuk meminjam harapan. Harapan agar bisa diberi pekerjaan, agar bisa ikut "masuk" ke dalam usaha yang sedang kita jalankan. Dan jujur saja, sulit untuk berkata tidak.
Karena ini bukan orang lain. Ini adik sepupu yang sejak kecil bermain bersama. Ini keponakan yang dulu sering tidur di rumah. Atau anak dari paman yang dulu sering bantu orang tua kita. Ketika mereka datang dengan wajah penuh harap, ada sesuatu dalam diri kita yang merasa bertanggung jawab.
Namun, dunia kerja tidak hanya mengenal belas kasihan. Ia bekerja dengan sistem. Dengan target. Dengan tuntutan performa. Dengan tanggung jawab profesional. Dan jika kita keliru dalam memadukan niat baik dengan tata kelola kerja, hasilnya bisa jadi bumerang. Hubungan kerja bisa rusak. Bisnis bisa terganggu. Bahkan, hubungan keluarga pun bisa renggang.
Ketika Kantor Jadi Ruang Silaturahmi
Banyak orang berpikir bahwa bekerja dengan keluarga adalah bentuk silaturahmi paling produktif. Tapi kenyataannya, tak sedikit yang justru mengalaminya sebagai ladang konflik emosional.
Di kantor, kritik dianggap serangan pribadi. Evaluasi dianggap pilih kasih. Teguran dianggap sebagai bentuk dendam lama. Dan yang lebih rumit, ketika urusan kerja dibawa-bawa ke meja makan keluarga---semua bisa menjadi drama panjang.
Tak jarang, paman dan bibi ikut "nimbrung". Memberi komentar, membanding-bandingkan, bahkan menilai keputusan manajerial yang sebenarnya di luar kapasitas mereka. Kantor pun berubah jadi ruang arisan keluarga, dan profesionalisme tergilas oleh rasa sungkan.
Solusi: Tempatkan Saudara di Wilayah yang Kita Kuasai Penuh
Pengalaman pribadi mengajarkan saya satu hal penting:
Jika ingin menolong saudara, bantu mereka di perusahaan yang kita miliki atau kuasai 100 persen.
Kenapa?