Mohon tunggu...
Abdul Wahid Azar
Abdul Wahid Azar Mohon Tunggu... Penulis Buku Non Fiksi (BNSP)

Menulis subtansi kehidupan, Jujur pada realitas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Antara Utang,Gengsi dan Cicilan Panci, Potret Masyarakat Modern

23 Juli 2025   06:12 Diperbarui: 23 Juli 2025   06:12 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gengsi membuat banyak orang membeli bukan karena perlu, tapi karena takut terlihat 'tidak mampu'. Pesta pernikahan yang mewah digelar bukan untuk kebahagiaan, melainkan agar tak dibilang "kalah gengsi" oleh tetangga. Hasilnya? Kredit tanpa agunan dan pinjaman online menjadi tamu tak diundang yang mengendap lama dalam hidup seseorang.

Kenapa Semua Ini Menjadi Umum?

Karena sistem mendukungnya. Akses pinjaman makin mudah, iklan makin persuasif, dan masyarakat makin dicekoki ide bahwa hidup yang layak adalah hidup yang tampak 'naik kelas'. Kita hidup dalam dunia yang lebih cepat menawarkan kredit daripada memberi edukasi finansial.

Utang hari ini tak lagi dipicu oleh krisis ekonomi semata, tapi oleh krisis identitas. Kita berutang karena ingin dianggap sama dengan orang lain, ingin terlihat mampu, ingin tampil di media sosial dengan citra "sudah mapan". Inilah wajah baru masyarakat modern: terlilit utang demi tampil kuat, padahal sedang rapuh.

Kita Takut pada Utang? Tidak, Tapi Waspada

Saya tidak anti utang. Kadang, utang bisa jadi penyelamat. Bisa membantu seseorang memulai usaha, menyekolahkan anak, atau keluar dari kesulitan sesaat. Tapi saat utang berubah jadi rutinitas dan ketergantungan, saat ia tak lagi disikapi dengan hati-hati, maka ia bukan lagi alat bantu, tapi jebakan abadi.

Pengalaman saya mungkin tak sendiri. Banyak orang di luar sana yang pernah meneteskan air mata di kasur tipis, bukan karena sakit hati, tapi karena tak tahu lagi harus pinjam ke mana.

Harga Diri yang Tertinggal di Ujung Pinjaman

Hidup memang kadang tragis. Bukan hanya karena tagihan, cicilan, atau bunga yang mencekik, tapi karena kita dipaksa memilih antara bertahan atau kehilangan harga diri. Ketika kondisi memaksa kita untuk mengulurkan tangan, meminta bantuan pada teman, maka sebenarnya bukan hanya permintaan yang kita bawa---tapi juga rasa malu yang menumpuk dan harga diri yang perlahan runtuh.

Dan ironisnya, kadang yang paling menyakitkan bukan ditolak, tapi saat diberi dengan tatapan iba yang membuat kita merasa lebih kecil dari yang sebenarnya. Mau pinjam saja rasanya sudah seperti melepas gengsi di hadapan dunia. Apalagi kalau sampai ditolak---seolah-olah hidup ini sedang menampar kita di tempat umum.

Tapi beginilah hidup. Tak selalu mulus, tak selalu adil. Kadang kita harus menelan pahitnya gengsi agar anak bisa tetap minum susu, agar sekolah anak tetap berjalan, agar dapur tetap ngebul meski hati sudah hampir padam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun