Dalam dunia sepak bola, ada momen yang tak pernah dilupakan sejarah: "Gol Tangan Tuhan" oleh Diego Maradona dalam perempat final Piala Dunia 1986. Dalam pertandingan melawan Inggris itu, Maradona mencetak gol menggunakan tangannya, tetapi sang wasit tetap mengesahkannya sebagai gol yang sah. Gol itu membawa Argentina unggul dan akhirnya menang. Dunia pun terbelah: sebagian menganggapnya kejeniusan licik, sebagian lain menyebutnya kecurangan yang dilegalkan.
Yang menarik, dua dekade kemudian, Lionel Messi --- yang dijuluki sebagai titisan Maradona --- kembali menghadirkan momen serupa. Pada 10 Juni 2007 dini hari, saat Barcelona menghadapi Espanyol, Messi mencetak gol kontroversial dengan tangannya. Bola crossing dari Zambrotta diarahkan ke kotak penalti, dan Messi yang tampak hendak menanduknya justru menggunakan tangan. Wasit tak melihat pelanggaran itu, gol tetap disahkan, dan pertandingan berlanjut. Sejarah pun seperti berulang --- kali ini dengan wajah yang lebih muda.
Kisah Maradona dan Messi memberi gambaran bagaimana dalam olahraga, ada keputusan yang tetap sah walau ditengarai tidak sepenuhnya bersih. Peluit wasit adalah simbol finalitas. Sekali ditiup, semua berjalan terus, entah publik puas atau tidak.
Kini, dalam gelanggang politik dan hukum Indonesia, kita menyaksikan drama serupa, meski tanpa rumput stadion. Usulan pemakzulan terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka oleh sejumlah purnawirawan TNI menimbulkan pertanyaan penting: apakah proses naiknya Gibran ke kursi wapres juga serupa dengan "gol tangan Tuhan" --- sah secara hukum, tapi cacat secara etika?
Usulan Pemakzulan dari Purnawirawan
Forum Purnawirawan TNI secara resmi mengajukan surat kepada DPR dan MPR untuk memproses pemakzulan Gibran. Langkah ini tentu patut dihormati sebagai bentuk kepedulian terhadap etika ketatanegaraan. Mereka menyuarakan kegelisahan publik terkait dugaan pelanggaran etika dalam proses Gibran menjadi cawapres. Kepedulian ini adalah bagian dari semangat menjaga marwah konstitusi dan moralitas kekuasaan.
Namun, sebagaimana kita ketahui, pemakzulan bukanlah semata soal perasaan publik atau pelanggaran etik. Ia adalah prosedur konstitusional yang memiliki syarat-syarat hukum yang ketat.
Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023: Gerbang Sah Gibran
Gibran dapat maju sebagai calon wakil presiden karena Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian uji materi soal batas usia capres-cawapres, melalui Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan ini membuka ruang bagi kepala daerah di bawah 40 tahun untuk ikut kontestasi nasional.
Belakangan, terungkap bahwa Ketua MK saat itu, Anwar Usman --- paman Gibran --- dinyatakan melanggar etik berat oleh Majelis Kehormatan MK (putusan No. 2/MKMK/L/11/2023). Sanksinya adalah pemberhentian dari jabatan Ketua dan larangan menangani perkara pemilu. Tapi, apakah ini cukup untuk membatalkan Putusan No. 90/PPU-XXI/2023 ?
Tidak,