Mohon tunggu...
Abdul Wahid Azar
Abdul Wahid Azar Mohon Tunggu... Penulis Buku Non Fiksi (BNSP)

Menulis subtansi kehidupan, Jujur pada realitas

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Pemakzulan, Melacak Jejak Konstitusi di Tengah Realitas Politik

13 Mei 2025   06:22 Diperbarui: 13 Mei 2025   06:22 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pemakzulan  (Foto : Kompas.com)

Pemakzulan kembali menjadi topik panas di tengah dinamika politik nasional. Kali ini, bukan kepala daerah biasa yang jadi sorotan, tetapi Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Isu pemakzulan ini memicu perdebatan sengit di kalangan politisi, akademisi, hingga masyarakat luas.

Pernyataan terbaru dari Mahfud MD, Menko Polhukam dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, kembali menggugah perhatian. Dalam acara Gaspol di kanal YouTube Kompas.com pada 9 Mei 2025, Mahfud menyatakan bahwa secara konstitusi, pemakzulan Gibran memang mungkin dilakukan. Namun, ia juga menekankan bahwa praktiknya sangat sulit direalisasikan karena desain konstitusi Indonesia yang membuat pemakzulan tidak mudah.

Pernyataan Mahfud yang Membuat Bingung

Mahfud MD menyatakan bahwa secara aturan, pemakzulan bisa dilakukan. Namun, dalam praktik politik, kemungkinan pemakzulan tersebut nyaris mustahil. Menurut Mahfud, ada tiga lembaga negara yang harus terlibat dalam proses pemakzulan:

DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) sebagai pengusul.

Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai penguji bukti pelanggaran.

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pemutus akhir.

Namun, yang membuat publik bertanya-tanya adalah ketika Mahfud juga menyatakan bahwa dalam sejarah politik Indonesia, tidak ada pemakzulan yang benar-benar mengikuti aturan konstitusi. Ia mencontohkan kasus Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tahun 2001. Menurut Mahfud, pemakzulan Gus Dur tidak dilakukan karena tuduhan penyalahgunaan dana Bulog atau kasus hukum lainnya, tetapi lebih karena mengganti Kapolri Bimantoro tanpa melalui mekanisme memorandum dari DPR.

"Pemakzulan Gus Dur sebenarnya tidak sah, karena yang dipermasalahkan adalah pencopotan Kapolri Bimantoro tanpa persetujuan DPR, bukan kasus hukum yang dikaitkan sebelumnya," ujar Mahfud.

Analisis: Antara Teori Hukum dan Realitas Politik

Pernyataan Mahfud MD ini memperlihatkan adanya kesenjangan antara aturan hukum dan praktik politik. Di satu sisi, Mahfud menegaskan pentingnya supremasi hukum dalam pemakzulan, namun di sisi lain, ia mengakui bahwa dalam kasus Gus Dur, faktor politik lebih dominan daripada dasar hukum itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun