Pemakzulan kembali menjadi topik panas di tengah dinamika politik nasional. Kali ini, bukan kepala daerah biasa yang jadi sorotan, tetapi Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Isu pemakzulan ini memicu perdebatan sengit di kalangan politisi, akademisi, hingga masyarakat luas.
Pernyataan terbaru dari Mahfud MD, Menko Polhukam dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, kembali menggugah perhatian. Dalam acara Gaspol di kanal YouTube Kompas.com pada 9 Mei 2025, Mahfud menyatakan bahwa secara konstitusi, pemakzulan Gibran memang mungkin dilakukan. Namun, ia juga menekankan bahwa praktiknya sangat sulit direalisasikan karena desain konstitusi Indonesia yang membuat pemakzulan tidak mudah.
Pernyataan Mahfud yang Membuat Bingung
Mahfud MD menyatakan bahwa secara aturan, pemakzulan bisa dilakukan. Namun, dalam praktik politik, kemungkinan pemakzulan tersebut nyaris mustahil. Menurut Mahfud, ada tiga lembaga negara yang harus terlibat dalam proses pemakzulan:
DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) sebagai pengusul.
Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai penguji bukti pelanggaran.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pemutus akhir.
Namun, yang membuat publik bertanya-tanya adalah ketika Mahfud juga menyatakan bahwa dalam sejarah politik Indonesia, tidak ada pemakzulan yang benar-benar mengikuti aturan konstitusi. Ia mencontohkan kasus Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tahun 2001. Menurut Mahfud, pemakzulan Gus Dur tidak dilakukan karena tuduhan penyalahgunaan dana Bulog atau kasus hukum lainnya, tetapi lebih karena mengganti Kapolri Bimantoro tanpa melalui mekanisme memorandum dari DPR.
"Pemakzulan Gus Dur sebenarnya tidak sah, karena yang dipermasalahkan adalah pencopotan Kapolri Bimantoro tanpa persetujuan DPR, bukan kasus hukum yang dikaitkan sebelumnya," ujar Mahfud.
Analisis: Antara Teori Hukum dan Realitas Politik
Pernyataan Mahfud MD ini memperlihatkan adanya kesenjangan antara aturan hukum dan praktik politik. Di satu sisi, Mahfud menegaskan pentingnya supremasi hukum dalam pemakzulan, namun di sisi lain, ia mengakui bahwa dalam kasus Gus Dur, faktor politik lebih dominan daripada dasar hukum itu sendiri.