Mohon tunggu...
Abdul Wahid Azar
Abdul Wahid Azar Mohon Tunggu... Penulis Buku Non Fiksi (BNSP)

Menulis subtansi kehidupan, Jujur pada realitas

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Doa,Tangis dan Tawa, Perjalananku Dengan 35 Keponakan, 44 Cucu dan 10 Cicit.(Jilid 1).

10 Februari 2025   06:42 Diperbarui: 10 Februari 2025   06:42 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diantara Karyawanku adalah keponakan dan cucu ( Foto-dok pribadi).

Kisah ini dimulai dari sebuah desa kecil yang penuh kehangatan dan kebersamaan, tempat saya lahir dari keluarga petani yang gigih. Setiap pagi, aroma sawah yang menghampar dan suara adzan yang syahdu mengiringi hari-hari kami. 

Kami adalah keluarga muslim yang hidup sederhana, sembilan bersaudara yang tumbuh dalam cinta dan kerja keras, menggantungkan hidup dari hasil sawah yang kami olah dengan penuh dedikasi dan harapan. Desa kami terletak di Kecamatan Mojowarno, Jombang, hanya sekitar 4 KM dari tempat makam Gus Dur, sosok ulama besar yang menjadi inspirasi banyak orang.

Hidup di desa berarti setiap hari adalah perjuangan, mulai dari mengusir burung di sawah, memanen padi, hingga mandi di sungai sambil menangkap ikan. Saya terlahir sebagai anak terakhir, bontot orang bilang. 

Saya lahir pada masa awal Orde Baru mulai memerintah di negeri ini, ketika semua kebijakan baru digulirkan dengan cita-cita keadilan dan kemakmuran. Pemerintah sedang giat membangun, sementara rakyat masih hidup dalam kesederhanaan. Bagi yang berkecukupan, makan nasi putih adalah kemewahan, sementara sebagian lainnya masih mengandalkan nasi campuran, yaitu nasi yang dicampur dengan jagung agar lebih mengenyangkan.

Hidup keluarga kami tidak sepenuhnya bertumpu pada pertanian. Selain menggarap sawah, keluarga kami juga bertahan dengan menjadi pengrajin bambu. Kami membuat berbagai kerajinan, dari perabot rumah tangga hingga anyaman yang dijual di pasar. Sementara itu, salah satu kakak saya memiliki industri tahu di kampung kecil kami. Berkat usaha itu, ekonomi keluarga kami sedikit lebih baik dibandingkan beberapa tetangga kami.

33 Keponakan, Sumber Kebahagiaan (dan Keramaian Tak Terduga!)

Dari sembilan bersaudara ini, lahirlah 35 keponakan! Namun, hidup memang penuh takdir yang tak bisa dihindari. Dari jumlah itu, kini hanya 33 orang yang masih bersama kami, sementara 2 keponakan telah lebih dahulu berpulang. Kehidupan terus berjalan, meninggalkan kenangan dan pelajaran berharga bagi kami semua. Mereka adalah warna-warni kehidupan yang membawa cerita dan tawa dalam keluarga kami.

Setiap keponakan punya kisahnya sendiri, dari perjuangan sekolah hingga berumah tangga, dari merintis usaha hingga menjadi tulang punggung keluarga. Mereka adalah generasi penerus yang mengukir jejak kehidupan dengan caranya masing-masing. Kalau dalam pertandingan sepak bola, kami bisa membuat tiga tim penuh dengan cadangan. Kalau dalam acara keluarga, sudah seperti hajatan tiap kali berkumpul.

Keponakan-keponakan ini tumbuh di berbagai tempat, dengan berbagai karakter. Ada yang menjadi pengusaha, ada yang berprofesi sebagai guru, ada yang meneruskan jejak sebagai petani, dan ada juga yang berani merantau mencari kehidupan baru di kota besar. Ada pula yang masih mencari jati diri, mencoba berbagai hal sebelum menemukan jalannya. Mereka adalah warna-warni kehidupan yang masing-masing membawa kebanggaan tersendiri bagi keluarga.

Perusahaan Berkembang, Keponakan dan Cucu Turut Berkarir

Saya merantau ikut kakak saya ke Jakarta, dan alhamdulillah ekonomi saya membaik karena memilih menjadi pengusaha. Awal mula saya berbisnis di bidang penjualan perangkat wartel, dan akhirnya saya memiliki puluhan wartel. Dari situlah keponakan-keponakan saya yang memiliki semangat kuliah ikut saya, mereka kuliah sambil menjaga wartel yang tersebar di Jakarta, Semarang, dan Medan.

Hasilnya, beberapa dari mereka berhasil menjadi sarjana, sementara keponakan lain tetap bertahan di kampung menjadi petani, guru, dan pedagang.

Diantara Karyawanku adalah keponakan dan cucu ( Foto-dok pribadi).
Diantara Karyawanku adalah keponakan dan cucu ( Foto-dok pribadi).
Kini, dari 35 keponakan saya, 33 masih hidup dan semuanya telah menikah serta membangun keluarga mereka sendiri. Saya merasa bangga dan bersyukur bisa menjadi saksi perjalanan hidup mereka, melihat mereka tumbuh, berjuang, dan mencapai impian mereka masing-masing. Dari mereka, lahirlah generasi baru yang kini menjadi bagian dari keluarga besar kami, memperpanjang silsilah dengan penuh harapan dan kebahagiaan.

Seiring berkembangnya usaha saya, bukan hanya keponakan yang ikut serta dalam perusahaan saya, tetapi juga anak dari keponakan saya, yang secara silsilah disebut cucu. Mereka tumbuh dalam lingkungan usaha yang saya bangun, membawa semangat baru dalam bisnis dan kehidupan keluarga kami. Kini, dari 33 keponakan saya, semuanya telah menikah dan telah memiliki rumah masing-masing.

Mereka membangun keluarga mereka sendiri, menciptakan rumah tangga yang bahagia dan mandiri, tersebar mulai dari Medan hingga Sorong, Papua Barat Daya. Saya merasa bangga dan bersyukur bisa menyaksikan perjalanan hidup mereka yang semakin mapan dan penuh berkah. Saya merasa bangga dan bersyukur bisa menjadi saksi perjalanan mereka, melihat bagaimana mereka tumbuh dan berjuang mencapai impian masing-masing.

Namun, kisah ini belum berakhir. Perjalanan menjadi seorang Mbah dan Buyut membawa banyak kisah unik dan penuh warna. Dari cucu-cucu yang datang ke Jakarta dengan modal nekat tanpa keterampilan hingga tingkah laku cicit-cicit yang menggemaskan, ada banyak cerita yang belum terungkap.

Ikuti kelanjutannya di bagian berikutnya, di mana saya akan berbagi lebih banyak kisah tentang bagaimana menjadi seorang Mbah dan Buyut di era yang terus berubah!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun