Hasilnya, beberapa dari mereka berhasil menjadi sarjana, sementara keponakan lain tetap bertahan di kampung menjadi petani, guru, dan pedagang.
Seiring berkembangnya usaha saya, bukan hanya keponakan yang ikut serta dalam perusahaan saya, tetapi juga anak dari keponakan saya, yang secara silsilah disebut cucu. Mereka tumbuh dalam lingkungan usaha yang saya bangun, membawa semangat baru dalam bisnis dan kehidupan keluarga kami. Kini, dari 33 keponakan saya, semuanya telah menikah dan telah memiliki rumah masing-masing.
Mereka membangun keluarga mereka sendiri, menciptakan rumah tangga yang bahagia dan mandiri, tersebar mulai dari Medan hingga Sorong, Papua Barat Daya. Saya merasa bangga dan bersyukur bisa menyaksikan perjalanan hidup mereka yang semakin mapan dan penuh berkah. Saya merasa bangga dan bersyukur bisa menjadi saksi perjalanan mereka, melihat bagaimana mereka tumbuh dan berjuang mencapai impian masing-masing.
Namun, kisah ini belum berakhir. Perjalanan menjadi seorang Mbah dan Buyut membawa banyak kisah unik dan penuh warna. Dari cucu-cucu yang datang ke Jakarta dengan modal nekat tanpa keterampilan hingga tingkah laku cicit-cicit yang menggemaskan, ada banyak cerita yang belum terungkap.
Ikuti kelanjutannya di bagian berikutnya, di mana saya akan berbagi lebih banyak kisah tentang bagaimana menjadi seorang Mbah dan Buyut di era yang terus berubah!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI