Mereka bukan hanya mengakibatkan rakyat miskin semakin menderita dalam kemiskinannya, tetapi juga meruntuhkan derajat negara ini ke titik  terendah. Mereka ciptakan suasana yang memosisikan Indonesia sedang menderita penyakit kelumpuhan.
Kebijakan impor bahan pangan atas nama liberalisasi perdagangan atau pasar global memang resiko yang harus ditempuh oleh bangsa atau Negara manapun di dunia ini, akan tetapi impor ini bukan untuk "memakan" peluang petani  atau elemen sosiaal darI "klister" lainnya dalam berkreasi atau mewujudkan kedaulatannya di negeri ini.
Komunitas petani menjadi demikian menderita atau kehilangan keberdayaannya akibat mafia, termasuk mafia beras yang selama ini memperdayai Indonesia. Â Mereka melakukan rekayasa pasar yang seolah-olah negeri ini sedang "darurat", sehingga membutuhkan pertolongan, diantaranya melalui impor atau penggunaan sindikasinya.
Pemberantasan mafia beras tidak semata memberangus para sindikat yang demikian sering melemahkan Indonesia, tetapi juga mengalahkan paradigma sekelompok pemodal berplat hitam yang sukanya menebar prinsip "siapa lagi yang bisa dimakan atau dimangsa " sebanyak-banyaknya.
Itu menjadi tanggungjawab pemerintah (negara) untuk membuktikan bahwa dirinya lebih kuat dibandingkan para mafia, kecuali jika sebagian oknum di ranah penyelenggara negara memang lebih menyukai membela dan membesarkan para mafia yang menguntungkannya.
Prinsip para mafia "siapa lagi yang bisa dimakan" merupakan prinsip anti Pancasila dan agama, sehingga Negara berkewajiban berdiri di garis depan jihad memberantas mafia sampai ke akar-akarnya.