Benarkah negeri ini masih mempunyai pemimpin yang benar-benar punya etos kerja tinggi, jujur, atau berintegritas demi hak asasi manusia (HAM)?Â
Atau, apakah para pejabat negara yang bergaji tinggi di negeri ini benar-benar menunjukkan mental amanatnya demi memeunhi hak asasi rakyatnya? Â atau sudahkah pemimpin Indonesia selalu hadir di tengah rakyat demi untuk rakyat?
Kalau kehadiran pemimpin tersebut bersifat instan atau karena ada momentum konflik dan adanya bencana di wilayah yang dikunjungi, maka maknanya tidak akan banyak.Â
Dampak psikologis bagi publik yang sedang berkonflik dan sedang terkena bencana pun tidak akan bertuah besar, pasalnya publik atau komunitas yang berkonflik dan terkena bencana punya apologi fundamental, yang memang sebelumnya tidak dijamah sang elit pemimpin.
Sebagai pelajaran, Umar bin Khattab pernah mengingatkan mengenai keniscayaan kehancuran Jerussalem kepada seorang Uskup gereja, "kota ini akan hancur jika kita kurang kuat iman.Â
Apabila umat Islam menjual kebenaran dan mengumpulkan kekayaan serta mencari kenikmatan duniawi, kehilangan perangai yang baik, berhubungan dengan perempuan secara tak bermoral dan tak adil, gemar melakukan fitnah, dendam, dan iri hati.
Sudah begitu, tidak bersatu dan unjuk kemunafikan, serta terperosok dalam perbuatan dosa, maka persatuan dan kedamaian akan musnah. Tindakan-tindakan tercela ini akan menyebabkan perpecahan, perpisahan dan kehancuran".
Peringatan khalifah Umar yang bertitel pendekar keadilan dan kemanusiaan kepada Uskup itu menunjukkan, bahwa terjadinya disintegrasi, merekahnya persatuan dan kehancuran bangsa itu bukan disebabkan oleh pluralisme.
Namun lebih disebabkan oleh degradasi akhlak relasi kemanusiaan-kebangsaan, lenyapnya kejujuran, maraknya kezaliman dimana-mana, dan pemujaan perbuatan-perbuatan palsu, parasit, dan tercela lainnya (Muchsin, 2011).
Pesan itu berkaitan dengan amanat sosial-politik yang ditujukan pada setiap pemimpin, yang berkewajiban mempanglimakan HAM atas rakyat dan negara di atas kepentingan eksklusif pribadi dan golongan.Â
Pimpinan agama dan pemerintahan yang berpengaruh kuat secara sosial, politik dan hukum diingatkan agar tak "memberhalakan" "aborsi" moral strukturalnya, karena di tangan mereka inilah warna HAM ditentukan