Mohon tunggu...
Abdul Wahid
Abdul Wahid Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang dan Penulis sejumlah buku

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Warna HAM di Tangan Pemimpin

20 April 2021   17:11 Diperbarui: 24 April 2021   08:08 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi HAM. (sumber: SHUTTERSTOCK/210229957 via kompas.com)

Benarkah negeri ini masih mempunyai pemimpin yang benar-benar punya etos kerja tinggi, jujur, atau berintegritas demi hak asasi manusia (HAM)? 

Atau, apakah para pejabat negara yang bergaji tinggi di negeri ini benar-benar menunjukkan mental amanatnya demi memeunhi hak asasi rakyatnya?  atau sudahkah pemimpin Indonesia selalu hadir di tengah rakyat demi untuk rakyat?

Kalau kehadiran pemimpin tersebut bersifat instan atau karena ada momentum konflik dan adanya bencana di wilayah yang dikunjungi, maka maknanya tidak akan banyak. 

Dampak psikologis bagi publik yang sedang berkonflik dan sedang terkena bencana pun tidak akan bertuah besar, pasalnya publik atau komunitas yang berkonflik dan terkena bencana punya apologi fundamental, yang memang sebelumnya tidak dijamah sang elit pemimpin.

Sebagai pelajaran, Umar bin Khattab pernah mengingatkan mengenai keniscayaan kehancuran Jerussalem kepada seorang Uskup gereja, "kota ini akan hancur jika kita kurang kuat iman. 

Apabila umat Islam menjual kebenaran dan mengumpulkan kekayaan serta mencari kenikmatan duniawi, kehilangan perangai yang baik, berhubungan dengan perempuan secara tak bermoral dan tak adil, gemar melakukan fitnah, dendam, dan iri hati.

Sudah begitu, tidak bersatu dan unjuk kemunafikan, serta terperosok dalam perbuatan dosa, maka persatuan dan kedamaian akan musnah. Tindakan-tindakan tercela ini akan menyebabkan perpecahan, perpisahan dan kehancuran".

Peringatan khalifah Umar yang bertitel pendekar keadilan dan kemanusiaan kepada Uskup itu menunjukkan, bahwa terjadinya disintegrasi, merekahnya persatuan dan kehancuran bangsa itu bukan disebabkan oleh pluralisme.

Namun lebih disebabkan oleh degradasi akhlak relasi kemanusiaan-kebangsaan, lenyapnya kejujuran, maraknya kezaliman dimana-mana, dan pemujaan perbuatan-perbuatan palsu, parasit, dan tercela lainnya (Muchsin, 2011).

Pesan itu berkaitan dengan amanat sosial-politik yang ditujukan pada setiap pemimpin, yang berkewajiban mempanglimakan HAM atas rakyat dan negara di atas kepentingan eksklusif pribadi dan golongan. 

Pimpinan agama dan pemerintahan yang berpengaruh kuat secara sosial, politik dan hukum diingatkan agar tak "memberhalakan" "aborsi" moral strukturalnya, karena di tangan mereka inilah warna HAM ditentukan

Sayangnya, tak sedikit pemimpin di negeri ini yang terperosok dalam keasyikan atau eforia menikmati ragam pola hidup, relasi sosial-struktural, rajutan pertarungan politik, keserakahan ekonomi dan bangunan kultural dan struktual eksklusif yang lebih memihak kepongahan, keserakahan, ketamakan dan bahkan "penyunatan" amanah secara sistemik. 

Mereka (komunitas elit) ini merasa bangga bisa memerangkapkan dirinya dalam akrobat pelanggaran HAM yang sangat serius.

Akibat euforia pemimpin yang sesat jalan itu, mereka akhirnya lupa turun ke zona-zona pelosok desa atau wilayah pedalaman sebagai kewajiban rutin. Mereka tak pernah tahu dengan benar realitas aspirasi masyarakat. 

Mereka sekedar mendengar ada pelanggaran HAM, namun tidak paham obyektifitasnya. Kalaupun sudah tahu obyektiftasnya ada pelanggaran HAM, mereka ini bahkan ikut-ikutan memproduksi pelanggaran HAM baru.

Pemimpin negeri yang sedang tersesat jalan itu merupakan deskripsi sosok dan komunitas elitis yang gagal menerjemahkan dan menyejarahkan peran-peran positip dan fundamental progresip yang mendisain wilayah kehidupan masyarakat negeri ini sebagai arena juang menuju pembaruan, pemberdayaan,  dan pencerahan masyarakat.

Mereka memang menempati posisi sebagai elit bergaji besar, namun masih "miskin" kinerja humanis berelasi pemedulian (penegakan) HAM akibat dikalahkan atau dikerangkeng oleh jajahan keserakahan dan egoisme sektoral yang melekat dalam dirinya.

Terbukti, masyarakat negeri ini dibiarkan terpuruk dan terhegemoni dalam ketidakberdayaan berlapis. Dibiarkannya masyarakat makan nasi aking, mengidap kurang gizi (malnutrisi), terus menerus jadi "langganan" korban bencana alam, membengkaknya jumlah drop out dan pengangguran, dan berbagai jenis penyakit akut lainnya, adalah bukti deviasi moral kepemimpinan bertajuk pelanggaran HAM.

Elit pemimpin itu masih terpesona dan terpedaya oleh magnit kepentingan (kesenangan) keduniaan, hedonisasi kekuasaan dan kekayaan. 

Mereka bangga bisa diperbudak nafsu, dihegemoni ambisi, menjual integritas moral, menggadaikan keimanan dan menkomoditaskan komitmen kerakayatan dan kebangsaannya, yang mengakibatkan hak-hak rakyat tercabik-cabik.

Mereka agungkan "ekstasi" atau hedonisasi gaya hidup, suatu praktik pemberhalaan kesenangan dan perburuan kepuasan sesaat yang lebih sering atau akrab menyesatklan.

Tentu saja sebagai deskripsi gaya hidup tanpa mengindahkan kalau hal ini dapat mendestruksi dan merugikan diri sendiri, sesama dan jati diri bangsa, yang kesemuanya ditempuh dengan "meminjam", merampas, atau menggerogoti kekayaan publik atau hak=hak rakyat.

Oleh: Abdul Wahid
Pengajar ilmu Hukum FH Universitas Islam Malang dan penulis buku

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun