Mohon tunggu...
Abdy Busthan
Abdy Busthan Mohon Tunggu... Administrasi - Aktivis Pendidikan

Penulis, Peneliti dan Dosen

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Emmanuel Levinas: Wajah dalam Relasi Etika

16 Agustus 2019   17:13 Diperbarui: 24 Juni 2021   08:16 1918
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Emmanuel Levinas: Wajah dalam Relasi Etika. | pinterest

Emmanuel Levinas (1906-1995) merupakan keturunan Yahudi yang dibesarkan di negara Perancis. Levinas adalah filsuf kontemporer yang pernah meramu pemikiran filosofinya dari tradisi agama Yahudi dengan tradisi Filsafat Barat dalam pendekatan fenomenologis.

Hal menarik dari pemikiran Levinas yang menjadi konsumsi para filsuf adalah soal etika, yang justru pemikiran ini dimulai dari konsep tentang iman melalui hubungan antar-manusia,  Itu sebabnya Levinas terkenal juga sebagai seorang Tokoh moralis.

Awalnya Levinas berpikir bahwa seluruh rangkaian pemikiran Barat dengan semua kemajuan ilmu pengetahuan, sejatinya telah membuat manusia menjadi terlalu agresif sehingga mementingkan diri sendiri. Maka timbul masalah ontologi budaya yang selalu menghalangi pandangan seseorang terhadap hubungan fundamental dengan sesamanya yang terus berlangsung dari waktu ke waktu, sampai mati. Fenomena ini menurut Levinas adalah totalitas dalam diri individu yang bersifat egosentrisitas.

Totalitas muncul dalam tradisi filsafat barat sejak Descartes, yang menempatkan pribadi manusia sebagai individu yang total. Dan seharusnya manusia sebagai individu yang total berperan sebagai subyek yang terpisah dari segala obyek lain diluar dirinya sendiri---manusia lain, makhluk lain, atau benda-benda yang lainnya. Totalitas harus dihancurkan oleh "yang tak berhingga". Dikatakan "yang tak berhingga" karena realitas diluar diri manusia tidak dapat dikuasai oleh totalitas individu manusia itu sendiri.  

Baca juga: Filsafat "Wajah" Emmanuel Levinas

Ambivalensi Etis


Menurut sang moralis Levinas, bahwa dalam melihat kenyataan terhadap sesama muncul ambivalensi. Ada dua sikap memandang kenyataan, yaitu: kenyataan sebagai "totalitas" dan kenyataan sebagai "ketakberhinggaan".

Pertama, kenyataan sebagai totalitas adalah dengan munculnya pemikiran yang menganggap kenyataan sebagai totalitas sehingga berasumsi bahwa seluruh realitas dapat dimengerti. Artinya manusia sebagai subjek akan mampu 'menangkap' seluruh kenyataan sebagai objek. Seluruh kenyataan ini dianggap sebagai satu sistem dengan manusia sebagai pusatnya. 

Kedua, ketika kenyataan dapat dianggap sebagai ke-tak-berhinggaan dan bahwa dalam kenyataan ada sesuatu yang tidak dapat ditangkap, serta sesuatu yang tidak pernah menjadi objek dan yang merusak totalitas itu sendiri, sehingga totalitas tersebut menjadi ke-tak-berhinggaan, maka dalam hal ini seseorang akan melihat sesamanya dan mengalami peristiwa yang disebutkan dalam bahasa Yunani sebagai "Wahyu", dimana Allah langsung memperlihatkan Diri-Nya melalui "wajah" sesama manusia (Yang lain). 

Wahyu dalam Wajah Sesama

Mari kita sedikit memahami konsep "wajah" pada bagian kedua diatas. Bahwa dalam hal ini wajah  manusia akan mengatasi semua objek, mengatasi dunia fisis, dan menjadi sesuatu yang metafisis, bahkan yang transenden.

Wajah manusia merujuk ke unsur "Yang lain" dengan huruf-huruf besar. Kalau saya melihat sesama manusia, saya pun diadili dari atas. Hubungan antara manusia dan sesama menjadi tidak simetris.

Untuk sesama manusia, saya harus membuat lebih banyak daripada yang boleh saya minta dari dia. Terutama wajah manusia yang miskin, kecil, dan lemah 'mengadili' saya. Wajah manusia lain mewajibkan saya ke kebaikan dan keadilan. Kebaikan dan keadilan akan berlaku sebagai perintah dari 'atas':

Allah berlaku sebagai perintah dari 'atas'; Allah itu Yang Tak Terkatakan; tapi dalam tuntutan-tuntutan etis, saya mengalami kehadiran-Nya. Wajah pada titik ini adalah wilayah relasi etika yang bukanlah wajah manusia secara fisik melainkan keseluruhan dari cara orang lain (the Other) memperlihatkan dirinya ke hadapan Saya/Aku (ego). Maka relasi etis adalah apa yang terjadi antara Aku dan Yang-Lain dalam sebuah pertemuan yang konkret.

Manusia cenderung menyerap segala hal di luar dirinya untuk menjadi bagian dari dirinya. Inilah yang dikatakana Levinas sebagai "totalitas". Manusia tidak nyaman dengan sesuatu yang tidak ia kenal, maka ia akan memberi hal yang asing itu dengan sebuah nama, serta mencari-cari dalam ingatannya hal yang serupa dengan hal yang asing itu, lalu menyerap hal asing itu ke dalam dirinya; menuju sebuah totalitas (totality).

Baca juga: ODGJ dan Filsafat Wajah Emmanuel Levinas

Totalitas ini sebuah sikap yang bukan etis, karena bergerak menuju diri sendiri (egosentris) dan selalu ingin menguasai pihak yang lain. Untuk mencegah terjadinya totalitas, Levinas menyebut bahwa pihak yang lain (the Other) sebagai manusia yang memiliki "wajah", dan wajah ini merupakan jejak dari Yang Tak Terbatas (the Infinite).

Pemikiran Levinas mengenai etika memang sangat metafisik (abstrak). Tapi pemikiran ini bisa kita pahami secara sederhana, bahwa sebagai sesama manusia, kita tidak bisa memahami orang lain hanya dengan semua konsep dan gagasan yang sudah kita miliki sebelumnya tentang dia. Kita harus bertemu secara langsung dengannya, dan membiarkan 'dia' dengan seluruh niatan yang dia sendiri miliki untuk memperlihatkan keseluruhan dirinya kepada kita (saya). 

Maka dengan sendirinya hadir relasi etis ketika kita melepaskan asumsi dan gagasan kita tentang orang dihadapan kita dan membiarkan dirinya memperlihatkan sendiri apa yang dia ingin diperlihatkan kepada kita (saya).

Dari ego (Aku) Menuju the Other (Yang lain)

Khusus tentang tanggungjawab, maka hubungan antara dua orang (aku dan yang-lain) tidaklah setara atau sama-rata (seperti yang mungkin dianggap banyak orang). Relasi antara dua manusia selalu submissif dari aku (ego) menuju yang-lain (the Other). Aku harus bertanggungjawab atas hidup orang lain di hadapanku. Tapi aku tidak cuma bertanggungjawab atas hidup satu orang, karena orang di hadapanku merupakan jejak dari Yang Tak Terbatas (the Infinite) maka aku bertanggungjawab pula pada hidup semua orang lain di belakangnya, yang sudah tercakup di dalam orang tersebut.

Tanggungjawab aku kepada orang lain ini, menurut Levinas, bukanlah keinginan menolong yang muncul dari perasaan bersimpati atau empati. Melainkan sebuah tanggungjawab yang sudah tertanam jauh di dalam  diri manusia sebelum manusia memiliki kesadaran (consciousness). 

Jadi sebelum manusia sadar akan dirinya sendiri, tanggungjawab terhadap orang lain sudah lebih dulu ada. Levinas menyebut masa ini sebagai masa lalu yang sudah tidak dapat diingat lagi (immemorable past). Hubungan aku dengan orang lain pada titik ini selalu bersifat altruism ekstrem. Aku mengorbankan sesuatu yang aku punya demi hidup orang lain. Maka dalam etika Levinas, bukan hanya tidak terdapat lagi egoisem di situ tetapi kita bahkan "terpenjara" oleh kehadiran orang lain. Saat ada orang lain di hadapan kita, kita sudah dituntut bertanggungjawab kepadanya. Artinya bahwa kenyamanan individualisme kita terusik dan cara kita hidup dan bereksistensi dipertanyakan. 

Singkatnya Levinas memahami bahwa etika bukan hal yang harus dipersoalkan lebih jauh. Tindakan etis tidak memerlukan niatan sengaja atas dasar berempati tapi mutlak (absolute) sebagai yang tak terhindarkan (aksiomatis). Untuk menjadi manusia yang etis, adalah melayani manusia lain dengan penyerahan diri sepenuhnya. Hal ini mirip seperti penyerahan diri pada Tuhan. Tetapi dalam pandangan ini, yang justru menjadi subyek penyerahan diri adalah manusia lain (Yang lain).

Baca juga: Eksistensialisme ala Emmanuel Levinas

Transendensi

Tentang hal transendensi, Levinas (1991) melihatnya sebagai kebutuhan untuk melarikan diri. Levinas melihat 2 (dua) hal yang terus menjadi perbincangan metafisik dalam sepanjang peradaban manusia, terutama pada abad pertengahan dan pencerahan, yaitu warisan pemikiran dari Immanuel Kant dan fenomenologi Martin Heidegger yang terlebih dahulu menyemangatinya untuk melacak dunia yang nyata dan yang tersembunyi. Dengan kata lain, bahwa yang riil dan "tak berhingga". Inilah yang juga pernah ditegaskan kembali oleh Nindra Poller (1996) bahwa ketika manusia melacak yang tersembunyi dan tak berhingga itu, maka dia memasuki ranah "transendensi".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun