Mohon tunggu...
Ayu Diah Nandini
Ayu Diah Nandini Mohon Tunggu... Konsultan - A human being.

I believe the power of mind

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Eksistensialisme ala Emmanuel Levinas

17 Januari 2014   21:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:44 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Emmanuel Levinas membawa kita kedalam sebuah kompleksitas mengenai eksistensialisme. Pertanyaan seputar “apa itu Being?” sesungguhnya merupakan horizon besar, tidak dapat benar-benar kita jawab sempurna dalam satu proposisi definitif. Jika ditilik secara mendalam lagi, sebenarnya pertanyaan tersebut sudah memanifestasikan sebuah hubungan dengan Being.

“The duality of existence dan existents is to be sure paradoxical, since that which exists cannot take over anything if it is not already existing.”

Yang dapat kita tangkap secara utuh adalah hubungan dengan Being, bagaimana existence dan existents dipahami sebagai sebuah keterkaitan. Distingsi antara existence dan existenst (ala dualisme Cartesian) sesungguhnya dikatakan Levinas sebagai paradoks. Existents tidak akan melakukan/menjadi apapun apabila ia tidak dalam existingnya.

Kajian eksistensialisme berbicara seputar refleksi filosofis, aku menyadari diriku. Bukan sekadar Aku yang tautologis: aku adalah aku, tetapi aku yang menyadari diriku bersama ‘yang lain’/the other, dan di dalam dunia. Levinas menyebut refleksi ini datang dari relasi antara manusia, yang selanjutnya menghasilkan sensibilitas antarsubjek. Ada daya yang kuat dalam pertemuan antarwajah. Menarik disini, digunakannya term ‘wajah’. Wajah merupakan simbol nyata relasi eksistensial manusia. Wajah adalah eksterioritas real yang dimiliki manusia. Dalam momen intersubjektif, terbangun pertemuan antara wajah satu dengan wajah lainnya. Pertemuan ini tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata seutuhnya, karena wajah tadi menjadi sesuatu yang powerful dan menghasilkan relasi eksistensial.

“The contact with light, the act of opening one’s eyes, the lighting up of bare sensation, are apparently outside any relationship, and do not take form like answers to questions. Light illuminates and is naturally understood; it is comprehension itself. But within this natural correlation between us and the world, in a sort of doubling back, a question arises, a being surprised by this illumination.”

Relasi eksistensial tentunya bisa terjadi apabila subjek terlibat dalam dunianya. Bentuk nyata relasi ini dapat ditemui dalam tindakan. “A being is born into existence, take place over and beyond that birth.” Sama seperti Heidegger yang menyebut hidup ini adalah keterlemparan, menurut Levinas keterasingan kita dalam dunia ini harus dihidupi dengan penuh pilihan dan tanggungjawab. Kita harus menerimanya. Tarik-menarik antara faktisitas dengan yang transenden, menjadi titik awal keberangkatan eksistensi. Manusia terus berharap; menantikan yang diinginkan, sedangkan realitasnya tidak sejalan dengan itu. Semuanya terjadi karena keterasingan tadi.

“Fatigue and indolence.....are, in their very occurence, positions taken with regard to existence.” Keterasingan yang dihadapi manusia tentunya akan memunculkan rasa lelah. “In weariness we want to escape existence itself.” Kelelahan ini menjadi titik tolak keinginan manusia untuk escape, lari dari realitas yang menakutkan itu. Pelarian berarti kemalasan manusia untuk menghidupi realitas yang ‘dilemparkan’ padanya. Kata ‘indolence’ disini secara kontekstual merupakan keengganan Being untuk memiliki, bertanggungjawab atas hidupnya yang dalam ‘keterasingan’. Poinnya adalah: manusia dihadapkan pada pilihan untuk terus terjebak dalam indolence itu (implikasinya menjadi tidak eksis), atau justru berani melampauinya untuk mencapai titik eksistensi.

“The failure is part of adventure. What was interrupted does not sink into nothingness like a game. This means that an action is an inscription in being. And indolence, as a recoil before action, is a hesitation before existence, an indolence about existing.”

Pilihan manusia untuk melampaui indolence pun tidak semudah membalikkan telapak tangan, harus dijalani dengan perjuangan. Indolence menjadi awal halang-rintang. Kegagalan yang lazim muncul harus diterima dengan kelapangan hati. Kegagalan adalah bagian dari petualangan, menghidupi keterasingan.

“What is essential in indolence is its place prior to a beginning of an action, its way of Being turned to a future.” Kembali lagi pada keterlibatan tindakan nyata. Sebuah permulaan menuju eksistensi sesungguhnya ada pada pilihan manusia untuk melampaui semua keterbatasan, mentransendensikan makna dalam hidup ini.

Daftar Pustaka

Levinas, Emmanuel. Existence and Existents.

Emmanuel Levinas (1906-1995), tokoh eksistensialisme kelahiran Lithuania ini banyak dipengaruhi gagasan psikologi dan sosial. Merupakan murid dari fenomenolog ternama, Edmund Husserl. Levinas terkenal dengan konsep face-to face-nya, term ‘wajah’ menjadi kata kunci dalam filsafatnya. Respondeo ergo sum, ucapan populer Levinas yang mewakili konsep relasi manusia dengan the other.

Lihat Emmanuel Levinas. Existence and Existents, hal. 15

ibid

ibid, hal. 16

ibid, hal. 17


ibid

ibid, hal. 20

ibid, hal. 22

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun