Mohon tunggu...
Abdul Azis
Abdul Azis Mohon Tunggu... Seniman - Belajar menulis

Mencoba belajar dengan hati-hati, seorang yang berkecimpung di beberapa seni, Tari (kuda lumping), tetaer, sastra.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Maaf, Karena Sulit Sekali Menulis Surat Lagi Untukmu

16 November 2020   18:08 Diperbarui: 16 November 2020   18:25 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

#Prosais

Ainul Hidayah, Belakangan Ini kita bagai sinar di ujung senja. Menariknya adalah ketika sesuatu yang runut itu menjadi ikut dalam keterikatan kita pada capaian unik tentang sesuatu. Kita bagai gelimangan skeptisme. Menjadi rumit pada akhirnya.

Kemudian aku ingin menjadikanmu kekasih yang unik dan penuh kebahagiaan. Ikutlah denganku sayang dan tetaplah seperti itu. Jika kelak menjadi lebih baik dan makin membuat kita bisa saling menyayangi satu sama lainnya. Maafkan aku, dan bisakah kita kemudian menjadi dua insan yang utuh sebagai kekasih itu.

Lalu kemudian ini tetap menjadi bagian pentingnya sesuatu yang membahagiakan kita kelak dan memanjakan kita. Tabahlah aku harap padamu, jangan kemudian engkau takut jika kita menjadi begitu di tekan oleh pihak-pihak yang mencoba untuk mencari-cari kemungkinan itu pada ketidak siapan kita. pada percekcokan internal kita.

Sulit memahami lagi sayang. Sulit memahami intrik dalam sebuah upaya menguasai dalam sebuah birokrasi tali percintaan. Teruntuk jiwaku yang sedang nelangsa mencari-cari sebuah, setitik cahaya kegemilangan. Yang di harapkan oleh sisi lain dari diri juga dapat membangun sebuah keindahan dan kebahagiaan. Ini sebuah opsi opini, atau estetika itu sendiri?

Hanya ingin mencoba menilik peristiwa, menemukan secercah itu. Sebuah genangan dan endapan informasi selalu bisa meriakkan sebarang refleksi ideologis. Tapi tahukah engkau pada akhirnya, Ainul? Yang aku harapkan hadir adalah tetap dirimu. Selalu seperti itu.

Merangkai titik dan garis menjadi lukisan atau gambar sederhana. Yang menarik untuk kemudian mencoba membangun narasi perspektif adalah sebuah lekungan garis di salah satu sisi kanvas. Seperti ada sebuah spekulasi dari ketidak sanggupan seseorang untuk membangun sebuah opsi opini tanpa ada intervensi dari selain dirinya.

Ini yang kemudian menjadi intraksi relasional pada patahan-patahan empiris laju kenangan. Cukup melelahkan dan kadang menghadirkan cemburu transaksional.

Itu akan membingungkan, dan bisa saja akan menghadirkan kegersangan terhadap hati. Mencari kemungkinan untuk tetap berekspresi atau menemukan sebentuk ereksi imajiner. Pada akhirnya, kita mencoba kembali berdamai, seromantis mungkin untuk tetap hikmat pada kerinduan dan keindahan bertali cinta.

Purnama di kota dan di desa memang beda, Ainul. Pantas jika tokoh Cinta pada film Ada Apa Dengan Cinta mencoba memunculkan itu sebagai ketidak seimbangan perasaannya atas pilihan Rangga untuk pergi keluar negeri dan meninggalkannya sendirian. Apa yang menjadi keraguan bagi cinta? apa juga yang menjadi keresahan? serta kenapa harus begitu terburu-buru mengejar seseorang yang bahkan tidak mencoba untuk tangguh berada di sisinya?

Bagaimana menjawab pertanyaan Cinta tentang perbedaan bulan purnama di Jakarta dengan NewYork? Bagaimana menangkap kalkulasinya, atau setidaknya menemukan kemungkinan untuk keseimbangan itu? Ada apa Dengannya? dengan mereka?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun