Mohon tunggu...
Abanggeutanyo
Abanggeutanyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - “Besar, ternyata ada yang lebih besar, sangat besar, terbesar, super besar, mega besar dan maha besar.”

Nama : FM Al-Rasyid ---------------------------------------------------------------- Observe and be Observed

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Aung San Suu Kyi dan Junta Militer Cukup Akui Ini, Krisis Myanmar Selesai

25 Februari 2021   02:48 Diperbarui: 25 Februari 2021   10:14 747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar : Retuters via asia.nikkei.com

Meskipun Myanmar (Burma) belum sepenuhnya merdeka dari koloni Inggris pada masa awal kemerdekaan Indonesia tapi peranannya sangat istimewa karena menyimpan kenangan pengorbanan sejati tak ternilai harganya bagi Indonesia.

Dukungan Myanmar terhadap kemerdekaan Indonesia tidak diragukan lagi tulusnya sehingga menawarkan sebuah bagian flat guna membuka "Rumah Indonesia" di Rangon (ibukota saat itu) pada 1947.

Pada April 1947, Sutan Syahrir Perdana Menteri (ketika itu) beserta rombongan singgah beberapa hari di Rangon, Burma setelah pulang dari sebuah konferensi di India guna memenuhi undangan Jenderal Aung San setahun sebelumnya (1946).

Pada tahun 1949 Belanda melancarkan agresi ke dua. Burma mengusulkan pada India untuk mengadakan konferensi dukungan terhadap kemerdekaan Indonesia. Konferensi tersebut akhirnya diikuti 18 negara mendukung kemerdekaan Indonesia mematahkan tekanan politik Belanda di PBB.

Pada 24 Januari hingga 2 Februari 1950, Presiden Soekarno berada di Burma sepekan. Ia disambut meriah oleh Presiden Burma ketika itu Sao Shwee Thaik penuh kehangatan ibarat saudara senasib sepenanggungan. Soekarno terkesan, menyebut Birma (sebutan lain Burma) "kawan dalam memperjuangkan kemerdekaan sejati."

Sebuah flat di bagian kantor Kementerian Luar Negeri Burma diberikan sejak 4 Januari 1948 untuk digunakan sebagai kantor perwakilan Indonesia (kala itu dipimpin oleh Maryunani) diresmikan menjadi Kantor Duta Besar Indonesia (KBRI) pada April 1950.

Masa Presiden Soeharto mengunjungi Burma sampai 3 kali yakni pada 26 November 1972, pada 22--29 Agustus 1974, juga pada 23--25 Februari 1997. Pada masa Orba ini kabarnya hubungan RI dan Myanmar dalam aroma kemesraan tertinggi. Kabarnya keluarga Cendana leluasa berbisnis di Myanmar. Sementara itu junta militer Myanmar banyak "berguru" pada Soeharto dalam beberapa bidang.

Pada masa BJ Habibie yang menjabat Presiden hanya 17 bulan tidak ada catatan perjalanan dinas ke luar negeri (termasuk Myanmar). Mungkin sedang fokus pada pemulihan ekonomi dan stabilitas politik di dalam negeri.

Junta Militer Burma masa pemerintahan Jenderal Than Swee mengubah nama Burma menjadi Myanmar pada 18 Juni 1989 untuk alasan kebersamaan pada etnis Non Burma di negeri itu.

Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid mengunjungi Burma sekali yakni pada 7 November 1999.

Selanjutnya pada masa Megawati mengunjungi Burma pada 24 Agustus 2001.

Kemudian masa pemerintahan SBY mengunjungi Burma 2 kali yaitu pada 1--2 Maret 2006 dan 23--24 April 2013.

Joko Widodo (Jokowi) sejak menjabat sebagai Presiden RI ke 7 dari 20 Oktober 2014 hingga saat artikel ini dibuat baru sekali berkunjung ke Myanmar yakni pada 12 - 13 November 2014 atau tidak sampai sebulan setelah menjabat Presiden. Kunjungan itu dalam rangka menghadiri KTT ASEAN pada 12 - 13 November 2014.

Berdasarkan catatan tersebut ternyata hubungan Indonesia - Myanmar bukan sekadar pertemanan biasa tetapi pertemanan sejati sebagaimana diungkapkan Presiden Soekarno 6 dekade yang lalu.

Terkait krisis politik yang kini sedang menghantam Myanmar tampaknya negara itu akan lebih mendengar suara Indonesia mencapai solusi di tengah gelombang protes besar-besaran melawan tirani junta militer pimpinan Jenderal Min Aung Hlaing sejak 1 Februari 2021 lalu.

Untuk itulah Menlu RI Retno mewakili Indonesia sebagai motor stabilitas atau perdamaian Asia Tenggara berencana terjun langsung ke kancah politik Myanmar pada 25/2/2021 setelah berkonsultasi dengan Menlu Thailand.

Desas - desus Menlu RI akan berkunjung ke Myanmar muncul berdasarkan surat Kementerian Transportasi Myanmar yang menyebutkan Menlu RI Retno Marsudi akan tiba di Nay Pyi Taw pada Kamis pagi pukul 08:10 waktu setempat. Kemudian akan bertolak dari ibu kota negara itu pada 11:50 waktu setempat.

Mempertimbangkan beberapa alasan tertentu Menlu Retno batal berangkat ke Myanmar. Selanjutnya atas inisiatif Thailand mengundang Menlu Myanmar tunjukan junta militer yaitu Wunna Maung Lwin datang ke Bangkok. Mereka (Don, Retno Marsudi, dan Wunna) bertemu di salah satu ruangan di bandara Don Muangdalam pertemuan tripartit.

Dalam siaran Press Briefing Retno berkata hasil pertemuannya dengan Menlu Thailand tentang Myanmar dengan pernyataan normatif, idealnya posisi Indonesia dalam negara ASEAN. Selengkapnya dapat dilihat di Kemlu.go.id.

Sementara itu tentang hasil pertemuan kolega Menlu tripartit, Retno menjelaskan posisi Indonesia dalam krisis ini lebih mengedepankan keselamatan rakyat Myanmar mewujudkan rekonsiliasi dan trust building melalui pendekatan shuttle diplomacy (diplomasi berulang kali).

Tetapi entah dari mana tiba-tiba muncul rumor hasil pembicaraan ke tiga Menlu tersebut adalah pelaksanaan pemilu ulang.

Indonesia dianggap mendukung pemerintah junta militer dengan opsi melakukan pemilu ulang. Akibatnya muncul rasa tidak puas terhadap diplomasi Indonesia. KBRI di Yangon dan Bangkok telah menghadapi demonstrasi dua hari berturut-turut.

Kini ketajaman Indonesia diuji di Myanmar. Apakah perhatian dari "sahabat sejati" akan diterima setidaknya oleh junta militer Myanmar karena para demonstran telah menetapkan harga mati yaitu : Tidak terima kudeta militer dan tidak ada pemilu ulang.

Di sisi lain, para tentara dan milisi pro junta militer telah mengasah semangat siap tempur melawan pembangkang. Salah satu video memperlihatkan tentara bersiap memuntahkan peluru dari pistol dan senapan serbunya pada demonstran JIKA menentang kebijakan militer.

JIKA Jenderal Min Aung Hlaing cs tiba-tiba bersedia berunding dengan opsi jaminan terhadap keselamatan terhadap seluruh dedengkot junta militer dan polisi dan dijamin tidak diproses secara hukum, pertanyaannya adalah bagaimana nasib para tentara dan polisi serta milisi di level menengah dan bawah yang telah pasang kuda-kuda siap tempur sebagaimana disebutkan di atas.

Apakah mereka dapat menerima sikap melunak para pemimpin militer yang telah membawa mereka pada kolam setengah berlumpur? Ataukah mereka yang telah setengah berlumpur itu akan menyeret para pimpinan militernya sendiri bertanggung jawab karena telah menggiring mereka berperang dengan rakyatnya sendiri?

Kita berharap semoga opsi solusi yang dibawa oleh Indonesia dapat diterima oleh semua pihak. Jika mengingat hubungan dekat Indonesia - Myanmar di masa lalu hingga kini sepantasnya Myanmar bersedia terima uluran perhatian sejati Indonesia.

Jika dahulu Soekarno sebut Myanmar sebagai "kawan dalam memperjuangkan kemerdekaan sejati" kini saatnya Myanmar menerima solusi Indonesia. Saatnya Aung San Suu Kyi dan junta militer sebut Indonesia "kawan dalam membela perdamaian sejati."

abanggeutanyo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun