Mohon tunggu...
Giwangkara7
Giwangkara7 Mohon Tunggu... Dosen - Perjalanan menuju keabadian

Moderasi, sustainability provocateur, open mind,

Selanjutnya

Tutup

Diary

Ibadah Pasif

31 Mei 2021   08:59 Diperbarui: 31 Mei 2021   09:03 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Di tengah gempuran kebermediaan, makna dan praktik ibadah sepertinya sudah tergantikan. Bangun tidur, langsung buka medsos. Mau tidur, cek medsos. Maka ada ritual baru di rumah, jam sepuluh malam, koneksi wifi dicabut. Agar semua penghuni tidur, tidak terfokus terus dengan telepon genggamnya. 

Kesempatan untuk beribadah sebenarnya tetap ada. Ketika berselancar mendapatkan berbagai hal baik dan menginspirasi, sehingga mengingat karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa. Atau sebaliknya, mendapatkan berbagai gosip, rumor, dan kabar burung, lalu kita menjadi terlena, marah, suka, pada hal-hal yang belum tentu benar. Maka kita memupuk dosa, karena melakukan merasakan dan berkehendak tidak sejalan dengan ajaran-Nya. Dosa yang tidak terasa, dan tidak sengaja.

Sebenarnya dalam dunia teknologi, kita juga bisa beribadah secara pasif. Mendengarkan bacaan, dakwah, juga termasuk. Ketika hati galau dan merasa kurang tenteram, maka mendengarkan hal-hal yang baik akan menjadi asupan bagi spiritual diri kita. Walaupun kadang merasa bosan, dan merubahnya menjadi mendengarkan audio dari penyanyi favorit :)

Agama mengajarkan dua jenis ibadah. Ritual dan Non ritual. Bahkan kita tersenyum saja sudah menjadi bagian dari ibadah. Pergaulan sesama manusia dengan baik, termasuk juga. 

Bergaul dengan mereka yang sesama alumni, sesama agama, sesama suku, sesama kampung halaman, dan sesama warga dunia lainnya, akan membawa kita pada perspektif ibadah yang luas. 

Berperilaku baik kepada sesama. Pergaulan dalam media sosial menjadi pengganti pergaulan tatap muka. Kita lebih sering berkomunikasi dengan tulisan dan emotikon daripada secara tatap muka. Adanya jarak dan suasana emosional yang tidak terdeteksi secara langsung, membuat adanya peluang dari kesenjangan komunikasi di media sosial. Sehingga ada ketegangan-ketegangan tersembunyi.

Setiap orang punya kebiasaan,concern, masalah hidup, mood yang berbeda-beda. Bukannya mendamaikan, grup media sosial malah bisa menjadi ajang konflik. 

Hal ini bisa membawa luka batin pada pihak tertentu. Nantinya bisa jadi sampai ke aspek hukum. Adanya kebebasan untuk membuat akun di platform media sosial (yang tidak diatur oleh pemerintah agar satu orang hanya memiliki satu akun media sosial), membuat peluang untuk terjadinya perundungan, kriminalitas, dan permasalahan lainnya yang bisa berdampak pidana maupun perdata.

Ibadah pasif, mendengarkan ceramah, khutbah, adalah mood booster. Lakukan dan anda akan tercerahkan. Ingat media sosial itu ada surga dan nerka. Kita hidup hanya sebentar, pergunakan untuk kebaikan. 

Agar kita meninggalkan belang seperti harimau mati. jejak digital yang baik akan menjadi ibadag yang terus menerus mengalir walaupun kta mati. Jika kita memiiki jejak digital tentang keburukan, menyebar kepalsuan, maka itu menambah-nambah dosa kita. Terus menerus, sampai mereka menghentikan menyebar kepalsuan tersebut. Literasi digital tidak dimiliki semua orang, bahkan dari kalangan profesor, doktor, master, dan sarjana, juga masih ada yang buruk kapasitas literasi digitalnya. Pengalaman pribadi. 

Ibadah aktif tentu saja lebih baik. Tidak sekedar senyum, tetapi aktif bergerak membantu kaum tertindas. Seperti beberapa komunitas yang mendorong perubahan di media sosial. Semisal komunitas "Ketimbang Ngemis".

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun