Mohon tunggu...
AANG JUMPUTRA
AANG JUMPUTRA Mohon Tunggu... Freelancer - Admin Social Media
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menyajikan konten yang cerdas, terupdate, dan terlengkap

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Memprioritaskan Anak Tidak Sekolah

15 Agustus 2019   08:31 Diperbarui: 15 Agustus 2019   11:09 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Anak tidak sekolah (ATS), -padahal siapa pun yang berusia antara 7 tahun s/d 18 tahun SEHARUSNYA  sekolah sesuai perintah undang-undang- , adalah fakta yang terjadi di belahan provinsi mana pun di Indonesia ini. 

Di Jawa Tengah contohnya, orang boleh tercengang atas fakta ini: Ada 23 persen anak usia 15 th s/d 18 tahun tidak sekolah sebagaimana mestinya di SMA/MA/SMK. Artinya hampir seperempat jumlah anak usia 15 th s/d 18 th termasuk ATS, atau umumnya disebutkan pencapaian APK SMA/MA/SMK di Jawa Tengah sebesar 77%. Tantangannya,  bagaimana 23% sisanya dapat dituntaskan.

ATS terjadi atas berbagai picuan: Ada yang pemicunya ketidakmampuan orangtua secara ekonomis, ada yang drop out karena tidak naik, dikeluarkan, atau bosan sekolah; bisa juga karena tidak tertarik lagi ke sekolah karena tergoda kehidupan "bebas" di jalanan, dsb. Apa pun pemicunya, pemerintah WAJIB mengusahakan ATS "kembali belajar." 

Dengan sengaja kosakata yang saya pilih "kembali belajar" bukan kembali sekolah, agar cara pandang kita jauh lebih luas daripada hanya menyekolahkan kembali anak-anak itu. ATS seusia SMA/MA/SMK (15 s/d 18 tahun) pasti jauh lebih sulit untuk diajak lagi bersekolah dalam arti masuk sekolah lagi seperti layaknya anak-anak sekolah setingkat SMA sederajat. 

Lebih baik mereka difasilitasi untuk tetap bisa belajar apa pun; tentu terutama belajar ketrampilan  apa saja yang menjadikan anak itu terampil, agar dalam waktu tidak terlalu lama mereka segera akan bisa berusaha menerapkan ketrampilannya dan berpenghasilan rutin. Lupakan ijasah bagi ATS yang difasilitasi kesempatan belajar itu, utamakan sertifikat.

Sebagian ATS seusia peserta didik SMA sederajat mungkin ada yang mau atau tertarik ikut program Kejar Paket, fasilitasilah niat mereka itu seperti halnya di atas telah disebutkan juga difasilitasi mereka yang maunya belajar ketrampilan. 

Dengan kata lain, mendorong ATS mau belajar lagi harus benar-benar diprioritaskan dengan berbagai variasi dorongan agar mau terus belajar. 

Pemerintah provinsi jangan terjebak dan "kaku" dalam batasan-batasan pendidikan formal, informal, dan nonformal; bahkan tidak mustahil sering terdengar tupoksi dinas pendidikan itu utamanya fokus ke pendidikan formal. 

Pernah ada orang dinas pendidikan nyeletuk: "Mengurus pendidikan formal saja sudah  kewalahan, ngapain ........." Tentu ini celetukan yang sangat tidak bertanggungjawab.

Ada berita terbesit dari Jawa Tengah demikian: Pemda (dalam hal ini Dinas Pendidikan) akan segera membahas dengan DPRD (baru) tentang "SMA/MA/SMK gratis" di Jateng, sehingga diharapkan pada awal tahun 2020 nanti wacana itu menjadi kenyataan. Jika berita ini benar, rasanya perlu segera "dikejar" dan diberikan "pencerahan" mengingat ada 23 persen ATS di Jawa Tengah. 

Kalau saat ini jumlah siswa SMA/MA/SMK di Jawa Tengah ada sekitar 1,3 juta dan siswa SLB ada sekitar 20.000 an, berarti ada sekitar 300 ribu anak usia 15 s/d 18 tahun di Jateng ini masuk kategori ATS. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun