Mohon tunggu...
A. Dita Febriyanti
A. Dita Febriyanti Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Gula Jawa; coklat, manis, alami, mudah larut.

Selanjutnya

Tutup

Money

Pemberdayaan Sektor Informal sebagai Salah Satu Wujud Manajemen Kota yang Teratur

9 Januari 2012   10:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:08 5626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Permasalahan sektor informal yang terjadi seakan-akan menjadi suatu permasalahan rutin di masyarakat, seperti perputaran siklus, tidak pernah berhenti meskipun secara teoritis sektor ini bukanlah suatu fenomena yang baru. Sektor informal ada di sekeliling kita sejak manusia ada di muka bumi. Karena sektor ini muncul sejak manusia ada di muka bumi, maka mereka melakukan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara menciptakan lapangan kerja sendiri atau self employed. Akan tetapi, sektor informal selalu mendapatkan predikat sebagai "penghambat" pembangunan. Predikat tersebut selalu saja menuai permasalahan yang kian hari kian sempit ruang geraknya. Akibatnya, sektor informal semakin sulit untuk mengembangkan usahanya demi memenuhi kebutuhan hidup.

Era globalisasi yang didukung dengan tingginya pertumbuhan penduduk menyebabkan berkurangnya lapangan pekerjaan formal. Adanya pertumbuhan penduduk tersebut tidak diimbangi dengan tersedianya lapangan kerja yang membangun sumber daya yang berkualitas, sehingga sumber daya manusia yang ada tidak mampu untuk mengikuti kompetisi di era globalisasi yang semakin ketat. Ketidakmampuan dalam bersaing ini menyebabkan sumber daya manusia yang minim modal dan keterampilan (soft skill). Hal inilah yang menyebabkan kegiatan sektor informal untuk dijadikan sebagai alternatif lahan mata pencaharian bagi masyarakat. Kebanyakan sektor informal ini terjadi di wilayah perkotaan yang notabene merupakan daerah yang memiliki peluang besar untuk memperoleh pekerjaan. Namun kenyataannya, justru banyak dijumpai penduduk miskin di perkotaan.

Penciptaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan di perkotaan merupakan dua dari berbagai masalah besar yang harus ditemukan jalan keluarnya dalam pembangunan nasional. Beberapa ahli dan pengamat ekonomi menganjurkan perlunya perhatian pada pengembangan kegiatan ekonomi sektor informal di perkotaan. Namun, ada juga yang cenderung lebih menekankan kepada kegiatan ekonomi sektor moderen, misalnya dengan perluasan investasi dan industrialisasi di perkotaan.

Di sisi lain, pemerintah masih menganggap bahwa sektor informal merupakan salah satu sumber PAD (Pendapatan Asli Daerah) melalui penarikan retribusi. Retribusi sendiri pada dasarnya adalah pajak yang merupakan kewajiban bagi semua warga negara. Akan tetapi, penarikan pajak sudah seharusnya disertai dengan pelayanan pemerintah mengenai keberlangsungan kegiatan pada sektor informal, seperti penyediaan tempat untuk melakukan usahanya serta jaminan keamanan dan sebagainya.

Pengertian sektor informal sendiri lebih sering dikaitkan dengan dikotomi sektor formal-informal. Dikotomi kedua sektor ini paling sering dipahami dari dokumen yang dikeluarkan oleh ILO (1972). Badan Tenaga Kerja Dunia ini mengidentifikasi sedikitnya tujuh karakter yang membedakan kedua sektor tersebut: (1) kemudahan untuk masuk (ease of entry), (2) kemudahan untuk mendapatkan bahan baku, (3) sifat kepemilikan, (4) skala kegiatan, (5) penggunaan tenaga kerja dan teknologi, (6) tuntutan keahlian, dan (7) deregulasi dan kompetisi pasar. Perspektif informalitas yang terjadi di perkotaan sendiri dicermati dalam fenomena PKL (Pedagang Kaki Lima) yang kerap kali dipandang dari sisi negatif. PKL sendiri bukanlah suatu kelompok yang gagal masuk dalam sistem ekonomi perkotaan. Mereka bukanlah komponen ekonomi perkotaan yang menjadi beban bagi perkembangan perkotaan. PKL adalah salah satu moda dalam transformasi perkotaan yang tidak terpisahkan dari sistem ekonomi perkotaan. Ketersediaan lapangan pekerjaan sektor formal bukanlah satu-satunya indikator ketersediaan lapangan kerja. Keberadaan sektor informal pun adalah wujud tersedianya lapangan kerja. Cukup banyak studi di negara-negara berkembang yang menunjukkan bahwa tidak semua pelaku sektor informal berminat pindah ke sektor formal. Bagi mereka mengembangkan kewirausahaannya adalah lebih menarik ketimbang menjadi pekerja di sektor formal. Masalah yang muncul berkenaan dengan PKL ini adalah banyak disebabkan oleh kurangnya ruang untuk mewadahi kegiatan PKL di perkotaan. Konsep perencanaan ruang perkotaan yang tidak didasari oleh pemahaman informalitas perkotaan sebagai bagian yang menyatu dengan sistem perkotaan akan cenderung mengabaikan tuntutan ruang untuk sektor informal termasuk PKL itu sendiri.

Banyak sekali para pakar yang berbendapat mengenai permasalahan dan hambatan yang dihadapi oleh sektor informal. Adapun permasalahan dan hambatan yang dihadapi oleh sektor informal secara umum diantaranya yaitu:

a.Keterbatasan modal dan akses terhadap pasar merupakan kendala utama yang bersifat akut dan belum bisa tertanggulangi secara sempurna.

b.Belum adanya upaya advokasi yang tumbuh dari dalam sektor informal itu sendiri. Para pekerja yang bekerja di sektor informal selalu disibukkan dan terkungkung oleh usaha yang mereka geluti. Mereka selama 24 jam memikirkan bagaimana cara mengembangkan usahanya, menyelamatkan usahanya dari “ancaman” pemerintah yang ingin menggusur, dll.

c.Pelaku sektor informal belum memiliki manajemen usaha yang bisa membuat mereka bekerja secara efisien dan memiliki daya tawar yang kuat

d.Terhambatnya proses pemberdayaan sektor informal bukan saja diakibatkan oleh terbatasnya anggaran tetapi juga adanya kebijakan pemerintah (pusat/daerah) yang memang cenderung kurang menghendaki terjadinya transformasi informal menuju formal yang maju dan modern.

e.Sektor informal yang dipandang sebagai perusak kota, walaupun sebenarnya tidak semuanya memiliki sisi negatif dari tumbuhnya sektor informal ini. Sektor informal belum diakui sebagai sektor yang memiliki potensi besar dalam pembangunan ekonomi Indonesia.

f.Banyak kalangan pejabat dan golongan elit yang memandang sektor informal terutama pedagang kaki limasebagai gangguan yang dapat membuat tatanan kota menjadi tidak rapi dan kotor seperti adanya kemacetan lalu lintas, bermunculan banyak penyakit akibat membuang sampah sembarangan.

Untuk mengatasi masalah sektor informal di Indonesia, khususnya di kota-kota besar salah satunya dengan memanajemen usaha dari sektor informal tersebut. Dalam ini yang menjadi pengontrol yakni pemerintah. Tugas pemerintah dalam hal ini mengawasi sektor informal yang lokasinya disediakan oleh pihak swasta. Pengawasan ini dimaksudkan untuk melindungi sektor informal dari tindakan swasta yang kurang baik. Misalnya menarik pungutan yang tinggi. Apabila sektor informal tersebut dikelola dan diawasi dengan baik, maka tidak dapat dipungkiri bahwa sektor ekonomi akan menjadi sebuah survival strategy. Hal ini tentu saja tidak dapat dilepaskan dari campur tangan pemerintah dan semua pihak dalam mewujudkan potensi yang ada dalam sektor informal melalui langkah-langkah kebijakan sebagai berikut:

a.Pertama, hendaknya pemerintah daerah dapat memahami bahwa modernisasi di perkotaan bukan hanya sebatas pada pembangunan plaza dan mal-mal saja. Akan tetapi, modernisasi perkotaan perlu diartikan sebagai pemberian tempat yang lebih layak bagi ekonomi informal pada struktur ekonomi perkotaan yang merupakan sumber kehidupan sebagian besar rakyat miskin. Pemerintah seharusnya menghilangkan image bahwa sector informal adalah sesuatu yang harus ditata dan dilindungi, namun harus beranggapan bahwa sector informal adalah kegiatan yang harus dirangkul.

b.Kedua, retribusi atau pajak yang dibebankan kepada sektor ekonomi informal oleh pemerintah daerah seharusnya memperhitungkan tarif retribusi tersebut berdasarkan pendapatan real dan juga adanya timbal balik berupa pelayanan kebersihan dan keamanan sektor ekonomi informal. Pemerintah juga harus membantu dalam hal permodalan berbunga rendah untuk mendapatkan lokasi usaha, baik itu bekerja sama dengan swasta atau dari APBD

c.Ketiga, hendaknya pemerintah daerah bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) menciptakan pusat pelayanan bagi sektor-sektor ekonomi informal demi perberdayaan dan peningkatan sumber daya manusia (SDM). Selain itu juga harus dilaksanakan pelatihan bagi sector informal. Pelatihan ditujukan untuk menyebarkan informasi seputar kegiatan usaha, pengembangan wawasan, dasar pengelolaan usaha, dan pemanfaatan peluang usaha.

Sebenarnya masih banyak lagi langkah-langkah pemberdayaan sektor ekonomi informal lainnya. Namun yang terpenting adalah bagaimana mengupayakan dapat berlangsungnya usaha rakyat kecil di sektor ekonomi informal yang juga miskin akan modal dan juga keterampilan. Sehingga, pemenuhan kebutuhan ekonomi mereka tidak lagi tergantung kepada pemerintah dengan tidak tersedianya pekerjaan pada sektor formal. Sementara pemerintah sendiri nyatanya belum mampu dari segi dana untuk melakukan investasi besar-besaran guna mengatasi permasalahan ketenagakerjaan.

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun