Mohon tunggu...
11Dhini Nayla RXII
11Dhini Nayla RXII Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

halo

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kesempatan Kedua Itu Ada

20 September 2022   16:33 Diperbarui: 30 September 2022   12:45 502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

  

      Pagi ini, riuh kicau burung terdengar saling bersahutan. Semilir angin pagi berhasil membuat pohon-pohon di sekitar sekolah seolah sedang melambai-lambai. Bel sekolah telah berbunyi 5 menit yang lalu, tapi masih saja banyak siswa dan siswi yang bergurau di luar kelas. Berbeda dengan siswa dan siswi kelas 8E. Mereka terlihat khusyuk mendengarkan penjelasan materi yang disampaikan oleh Bu Tiwi. Hingga fokusnya terpecah karena suara ketukan pintu.

      "Masuuuk!" seru Bu Tiwi.

      "Bu maaf ganggu waktunya sebentar, apa ada yang bernama Luna?" Ujar Pak Ade.

      Aku refleks mengangkat tanganku.

     "Saya Luna, Pak". Ujarku pada Pak Ade. Seluruh penghuni kelas secara serempak menoleh padaku.

      "Nanti jam istirahat ke meja bapak ya nak, terima kasih bu, silahkan dilanjutkan". Pak Ade terlihat terburu-buru, seperti sedang dikejar waktu. Bu Tiwi kemudian melanjutkan pembahasan yang sempat tertunda.

      Bel istirahat berbunyi, aku bergegas menuju ruang guru. Kurasa tak sopan jika membuat guru menunggu terlalu lama. Sesampainya di sana Pak Ade langsung menyampaikan maksud dan tujuan memanggilku. Beliau memintaku menjadi perwakilan sekolah untuk mengikuti lomba olimpiade.

      Aku terdiam sesaat. Bukannya aku tak senang mendapat kesempatan ini, tapi aku sudah pernah mendapatkan kesempatan itu namun gagal. Apakah aku bisa membuat sekolah dan orang tuaku bangga? Atau aku akan membuat mereka kecewa untuk ke sekian kalinya? Banyak yang bilang kesempatan kedua itu ada, aku tak yakin apa benar kesempatan kedua itu ada? Atau hanya kalimat penenang untuk orang yang pernah gagal?

      Huhhhh, mungkin orang akan berpikir bahwa aku terlalu melebih-lebihkan, hanya tawaran olimpiade saja seperti ada tawaran yang sangat besar, tapi sungguh, aku hanya takut mengecewakan sekolah dan orang tuaku untuk ke sekian kalinya. Kurasa masih banyak siswa dan siswi yang lebih baik daripada ku tentunya. Sudahlah nanti akan ku bicarakan lagi dengan bunda.

      Saat kembali ke kelas, teman-teman penasaran dengan apa yang aku dan Pak Ade bicarakan. Aku seperti artis dadakan yang dihadapkan dengan wartawan yang siap dengan kameranya. Aku hanya tersenyum geli pada mereka.

      Sesampainya di rumah aku langsung menceritakan semua yang terjadi hari ini, termasuk percakapanku dengan Pak Ade. Bunda terlihat antusias mendengarnya. Bunda memang selalu menyempatkan waktunya untuk mendengarkan semua cerita dan keluh-kesah anak-anaknya. Bunda merupakan wanita terhebat menurutku. Bunda bisa menjadi sahabat sekaligus ibu untuk anak-anaknya. Bunda selalu mendukung semua yang aku lakukan, semua kegiatan baik tentunya. Bunda menyarankan ku agar menerima tawaran itu, bunda percaya bahwa aku bisa memenangkan lomba kali ini. Kata bunda, seimbangkan saja usaha dan doa. Bukan pasrah pada keadaan tapi pasrahkan semua urusan pada Sang Khalik.

      Sejak percakapan dengan bunda, kepercayaan diriku sedikit demi sedikit muncul ke permukaan, semua butuh proses, tak mudah untuk kembali percaya diri setelah mengalami kegagalan. Tapi ku pikir, aku berhak mendapat kesempatan kedua dan bisa memenangkan lomba itu. Dulu aku terlalu naif, menganggap remeh lawan-lawanku. Tentu perkiraan itu salah. Sekolah lain pun berusaha mengirimkan perwakilan terbaiknya agar dapat bersaing dikompetisi itu. Satu hal yang ku pelajari dari kesalahan sebelumnya, percaya diri itu boleh tapi jangan sampai menganggap remeh seseorang karena mungkin ia akan menjadi salah satu saingan terberat.

      Hari demi hari telah berganti, minggu demi minggu telah terlewati, tiba waktunya perjuanganku dimulai. Hari ini sekolah mulai giat memberiku bekal materi untuk olimpiade nanti. Lomba akan dimulai 3 bulan lagi, sementara sekolah hanya memberikan bimbingan selama 1 bulan, selebihnya aku yang harus berjuang agar dapat bersaing dengan sekolah lain. Bimbingan dimulai setelah kegiatan belajar mengajar selesai dengan dibimbing oleh Pak Ade, Bu Tika, Bu Irma, dan Bu Siti. Mereka terlihat begitu semangat memberikanku bekal materi, aku dibuat geleng-geleng kepala melihat semangat guru-guru ku. Lelah itu pasti, tapi aku sangat menikmati proses ini. Semoga saja segala lelah ini akan terbayarkan dengan hasil yang baik.

      Perjuangan ini diibaratkan seperti sedang mendaki gunung. Kita tidak tahu seberapa jauh dan terjal perjalanan yang akan kita lalui. Mungkin jika kita terlalu tergesa-gesa, kita akan celaka. Begitu pun sebaliknya, jika kita terlalu mudah untuk menyerah, akan banyak kesempatan yang terbuang. Sabar adalah kuncinya. Semua perjuangan yang didasari dengan kesabaran akan terbayarkan dengan keindahan yang telah disuguhkan di depan sana. Bisa dibilang kini aku sedang berada di tengah pendakian itu. Kembali pada kenyataan bahwa halangan itu pasti ada. Tak ada jalan yang mulus-mulus saja. Di tengah kobaran semangat, aku harus dihadapkan dengan kenyataan bahwa banyak dari temanku yang kurang setuju jika aku ikut berpartisipasi lagi dalam perlombaan olimpiade ini. Bahkan ada yang terang-terangan menolak ku agar aku tak ikut berpartisipasi lagi dalam perlombaan ini.

      "Eh denger-denger kamu dipilih jadi peserta olimpiade lagi ya? Kok bisa sih, padahal dulu udah pernah ikut tapi gak menang kan? Terus di sekolah ini juga masih banyak yang lebih baik, kenapa harus kamu lagi?" Ujar Shella.

      "Iya, padahal Marsa juga pinter, kok gak dipilih sih? Harusnya kan ada seleksi dulu biar adil, yakan?" Ujar Icha.

      Aku tak marah pada mereka, hanya sedikit kesal karena apa yang mereka bicarakan adalah fakta. Mereka benar, masih banyak siswa dan siswi berprestasi di sekolah ini, kenapa harus aku? Begitulah kehidupan. Sebaik apa pun perilaku yang kita tunjukkan, ada saja orang yang tak menyukai kita. Aku bukanlah orang yang selalu menutup telinga saat ada orang yang membicarakan keburukanku. Jiwa yang tadinya penuh dengan semangat kini hanya diisi dengan keraguan. Aku kembali ragu pada diriku sendiri. Haruskah aku menyerah saja? Selagi perjuanganku belum terlalu jauh, aku tak apa jika harus turun dari pendakian ini.

      Kembali lagi, bunda selalu menjadi rumah ternyaman untuk keluarganya. Bunda merupakan tempat pulang paling aman disaat dunia sedang tak berpihak padaku. Aku mengeluarkan seluruh keluh-kesahku. Aku juga menceritakan apa saja yang orang-orang katakan padaku. Bunda tersenyum. Mungkin bunda merasa lucu melihat remaja labil ini sedang dihadapkan dalam keraguan.

      "Nak, tangan Luna ini memang gak bisa menutup semua mulut mereka, tapi bisa buat menutup mata atau telinga Luna kan? Kenapa gak dilakuin? Kalo Luna gagal, toh gak ngerugiin mereka. Mereka tuh cuman iri aja sama anak bunda ini. Inget, Allah gak suka sama hamba-Nya yang dikit-dikit nyerah. Lanjut ya, kalo Luna sabar, insyaallah, udah ada hadiah di depan sana. Dikit lagi sayang, sabar ya. Tunjukkin sama mereka, anak bunda ini pasti bisa. Kalo Luna mundur, mereka bakal mikir Luna emang gak pantes buat kompetisi ini. Coba inget-inget lagi, Luna nyesel dulu kalah karena apa? Karena Luna kurang usahanya kan? Makanya Luna nyesel. Sekarang coba Luna usaha semaksimal mungkin, kalaupun kemungkinan terburuknya Luna belum beruntung lagi, seenggaknya Luna sudah berusaha. Semangat, bunda percaya anak-anak bunda hebat semua."

      Bunda selalu berhasil menjadi pelangi di tengah hujan badai. Bunda juga berhasil menjadi rembulan di tengah gelapnya malam. Benar, jika aku mundur dari kompetisi ini, mereka akan membenarkan pikiran mereka jika aku tak pantas berpartisipasi dalam kompetisi. Aku kembali bertekad bahwa aku pantas mendapatkan kesempatan untuk kedua kalinya. Aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk memenangkan lomba olimpiade kali ini.

      Tak terasa perlombaan akan dilaksanakan 1 minggu lagi. Aku semakin giat mempelajari materi yang telah diberikan oleh guru-guruku. Rasanya waktu berjalan begitu cepat. Tapi tak apa, aku yakin bahwa bekalku sudah cukup untuk bersaing dengan sekolah lain. Waktu yang tersisa kuhabiskan untuk kembali mengulang materi yang telah kupelajari sebelumnya. Guru-guru sama sekali tidak membebaniku, mereka benar-benar seperti orang tua kedua bagiku. Aku selalu mengingat kata-kata sederhana yang mereka ucapkan padaku, katanya kalah dan menang adalah hal lumrah dalam kompetisi, jadikan kompetisi ini sebagai pengalaman berharga, menang itu bonus tapi berusaha itu harus. Jangan takut, tak ada yang bisa menjatuhkan dirimu kecuali dirimu sendiri. Ya, tak ada yang bisa menjatuhkanku kecuali diriku sendiri.

      Tiba dimana hari perlombaan olimpiade dimulai. Rasa takut terlalu mendominasiku kali ini. Sebelum berangkat ke tempat perlombaan, bunda mengusap kepalaku. Kata bunda, jadilah orang yang berguna, karena kesuksesan bukan hanya dilihat dari materi saja tetapi seberapa bergunanya diriku untuk orang lain, kalah bukan hal yang harus ditakutkan, apa pun hasilnya nanti, aku tetaplah menjadi anak kebanggaan bunda dan masih banyak kata-kata penyemangat yang bunda ucapkan padaku. Ayah pun demikian, ia terus memberikanku kalimat sederhana tapi bermakna. Kehadirannya tak kalah penting dengan bunda. Ayah memang selalu mengolok-olokku tapi ayah akan menjadi pelindung terdepan jika ada yang mengganggu putrinya. Ayah pahlawan terhebat dalam hidupku.

      Untuk sampai di tempat perlombaan aku diantar oleh Pak Ade dan Bu Siti. Mereka terus memberiku semangat dan mengucapkan kalimat penenang. Di perjalanan kami asyik mengobrol santai, mungkin agar aku tak terlalu tegang. Sesampainya di sana, sudah ramai siswa dan siswi dari berbagai sekolah. Mereka terlihat sama siapnya denganku. Aku menunggu sekitar 20 menit sebelum akhirnya masuk ke ruangan perlombaan. Bu Siti memberiku banyak makanan, biar bensinnya full katanya.

      Aku sudah masuk ke dalam ruangan perlombaan, sebelumnya aku meminta doa pada Pak Ade dan Bu Siti agar dilancarkan saat mengerjakan ujian nanti. Guru pengawas membagikan soal olimpiade, kami diberi waktu 2 jam untuk mengerjakan 100 soal yang tersedia. Tanganku gemetar sesaat setelah soal dibagikan. Ini yang tak aku suka. Aku berusaha fokus sembari terus berdzikir, aku percaya Allah pasti membantu hamba-Nya sedang kesusahan, Allah tidak tidur. Aku terus berdoa agar setiap jawaban yang kupilih bukan suatu kesalahan. Di ruangan ini hening, tapi pikiranku ramai. Aku berusaha untuk mengingat materi-materi yang sudah kupelajari. Waktu terus berputar, jam dinding menjadi saksi di setiap pengerjaan soal. Tak terasa 2 jam sudah terlewati, guru pengawas memberi instruksi agar kami berhenti mengerjakan soal. Beliau berjalan sembari mengambil kertas jawaban kami. Perjuanganku telah usai, kini aku hanya terus berdoa semoga saat pengumuman nanti, tercantum namaku sebagai salah satu pemenang kompetisi.

      Saat aku keluar dari ruangan, terlihat Bu Siti dan Pak Ade yang siap dengan senyumannya. Rasanya aku ingin sekali menangis. Takut dan lelah tercampur menjadi satu. Tak terbayangkan jika senyuman itu akan hilang saat pengumuman nanti. Bu Siti menghampiriku sembari terus mengucapkan terima kasih. Beliau berterima kasih karena aku sudah berjuang untuk membawa nama sekolah. Beliau tak keberatan jika nanti hasilnya tidak sesuai dengan yang kubayangkan. Cukup dengan kerja keras Bu Siti sudah bangga padaku.

      Pengumuman pemenang lomba olimpiade akan diumumkan setelah shalat dzuhur. Aku, Bu Siti, dan Pak Ade bergegas melaksanakan shalat saat adzan baru saja dikumandangkan. Aku terus memohon untuk diberikan yang terbaik menurut Allah. Tak apa jika memang tak sesuai dengan yang ku harapkan. Aku sudah berusaha semaksimal yang ku bisa. Setelah shalat kami bertiga mencari makan siang terdekat.

      Pengumuman hasil olimpiade dimulai. Inilah saat-saat yang ditunggu sekaligus ditakutkan oleh kebanyakan orang. Aku hanya bisa pasrah dengan apa yang akan dibacakan oleh juri.

      "Halo adik-adik semua, sudah masuk waktunya kami akan mengumumkan siapa saja yang mendapatkan juara olimpiade. Sebelumnya untuk yang namanya disebut bisa langsung naik ke podium dan yang namanya belum tercantum dalam kertas ini jangan patah semangat karena perlombaan akan diadakan 1 tahun sekali, jadi kalian yang belum beruntung sekarang masih ada kesempatan untuk mengikuti kompetisi selanjutnya."

      "Tanpa berlama-lama saya akan membacakan 5 besar pemenang lomba olimpiade ini. Juara kelima dengan peraihan nilai 83 dimenangkan oleh Rayhan Angkasa, dipersilahkan maju ke depan. Juara keempat dengan peraihan nilai 86 dimenangkan oleh Zea Fitriana. Juara ketiga dengan perolehan nilai 87 dimenangkan oleh Naya Faradila. Juara kedua dengan perolehan nilai 89 dimenangkan oleh Alexandra Arabella. Dan juara pertama kita dengan perolehan nilai 93 dimenangkan oleh Luna Aqila. Selamat untuk para pemenang. Baiklah untuk siswa dan siswi yang namanya disebut tadi dipersilakan naik ke podium untuk serah terima piala dan hadiah."

      Akhirnya segala perjuanganku tak berujung sia-sia. Buah yang ku tanam kini sudah dapat dipetik. Hilang sudah semua perasaan takut dan lelah, kini telah tergantikan oleh perasaan haru dan lega. Aku maju untuk menerima piala dan reward yang telah disediakan oleh panitia acara. Kalimat selamat ku dapatkan di setiap langkahku saat hendak maju ke podium. Tak henti-henti ku ucapkan terima kasih pada Allah SWT, karena jika bukan karena-Nya aku tidak akan bisa berada diposisi ini. Huhhh aku tak sabar menceritakan kemenangan ini pada bunda dan ayah.

      Setelah piala dan hadiah diberikan, Bu Siti dan Pak Ade memberiku ucapan selamat. Mereka juga langsung membelikan ku makanan. Hadiah dari hasil perjuanganku katanya. Kini matahari sudah tak menunjukkan wujudnya menandakan hari mulai petang. Aku, Pak Ade, dan Bu Siti sudah dalam perjalanan untuk pulang. Hari ini sungguh melelahkan sekaligus menyenangkan. Pengalaman yang akan jadi kenangan termanis yang sulit untuk disimpan saja. Sesampainya di rumah, aku langsung mengucapkan terima kasih pada Pak Ade dan Bu Siti karena sudah mengantarku pulang dengan selamat. Aku juga mengucapkan terima kasih pada beliau karena sudah sabar mengajariku. Memang benar, guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Semua jasanya tak akan ku lupakan hingga aku sudah menginjak usia senja nanti. Setelah mobil Pak Ade tak terlihat lagi, aku segera berlari mencari bunda. Hingga akhirnya kulihat bunda sedang memasak dan ayah yang sedang membantu bunda.

      Aku memanggil ayah dan bunda hingga keduanya menoleh. Tanpa banyak basa-basi aku langsung menceritakan semua yang terjadi hari ini. Kulihat mata bunda mulai berkaca-kaca, titik-titik embun terlihat akan jatuh dari matanya. Bunda mengucapkan selamat begitu pun ayah. Ternyata begini rasanya melihat bunda menangis haru karena prestasiku. Bunda memelukku dengan erat sembari berkata bunda bangga sama kamu nak, terima kasih ya, kamu salah satu alasan bunda terus bersyukur selama ini. Kamu hebat. Ucapan bunda sukses membuat ku juga ikut menitikkan air mata. Lega rasanya berhasil membuktikan pada orang-orang bahwa aku pantas mengikuti kompetisi ini meskipun pernah gagal. Satu hal yang tak bisa dipungkiri, bukan aku yang hebat, tapi doa orang tuaku yang kuat. Jika bukan tanpa mereka, mungkin aku masih bersembunyi dibalik selimut tanpa berniat untuk beranjak. Bersembunyi dalam ruangan tanpa berniat untuk keluar. Dan bersembunyi dibalik awan hitam tanpa berniat untuk merasakan indahnya kehidupan.

      Banyak hikmah yang ku pelajari dari pengalaman ini, salah satunya Tuhan memang tidak berjanji untuk selalu memberikan kebahagiaan, tapi Tuhan berjanji akan selalu memberikan jalan di setiap ujian yang diberikan. Tak apa sesekali melahirkan kesalahan karena tidak ada yang sempurna untuk apa-apa yang baru pertama atau kedua kali dicoba. Salah, belajar lagi. Gagal, coba lagi. Jatuh, bangkit lagi. Selagi masih berusaha mencoba, kita sudah lebih dari cukup kok. Toh lebih baik salah ketika mencoba daripada salah karena tidak pernah mencoba, kan?

      Terima kasih sudah sabar membaca hingga akhir. Maaf jika ceritanya membuat bosan. Semoga ada hikmah yang dapat diambil dari cerita ini. Kini aku resmi menyelesaikan perjalanan tentang kenangan manis ini. Sampai jumpa di perjalananku selanjutnya. Perjalanan remaja labil yang takut menginjak dewasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun