Mohon tunggu...
11Dhini Nayla RXII
11Dhini Nayla RXII Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

halo

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kesempatan Kedua Itu Ada

20 September 2022   16:33 Diperbarui: 30 September 2022   12:45 502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

      Sesampainya di rumah aku langsung menceritakan semua yang terjadi hari ini, termasuk percakapanku dengan Pak Ade. Bunda terlihat antusias mendengarnya. Bunda memang selalu menyempatkan waktunya untuk mendengarkan semua cerita dan keluh-kesah anak-anaknya. Bunda merupakan wanita terhebat menurutku. Bunda bisa menjadi sahabat sekaligus ibu untuk anak-anaknya. Bunda selalu mendukung semua yang aku lakukan, semua kegiatan baik tentunya. Bunda menyarankan ku agar menerima tawaran itu, bunda percaya bahwa aku bisa memenangkan lomba kali ini. Kata bunda, seimbangkan saja usaha dan doa. Bukan pasrah pada keadaan tapi pasrahkan semua urusan pada Sang Khalik.

      Sejak percakapan dengan bunda, kepercayaan diriku sedikit demi sedikit muncul ke permukaan, semua butuh proses, tak mudah untuk kembali percaya diri setelah mengalami kegagalan. Tapi ku pikir, aku berhak mendapat kesempatan kedua dan bisa memenangkan lomba itu. Dulu aku terlalu naif, menganggap remeh lawan-lawanku. Tentu perkiraan itu salah. Sekolah lain pun berusaha mengirimkan perwakilan terbaiknya agar dapat bersaing dikompetisi itu. Satu hal yang ku pelajari dari kesalahan sebelumnya, percaya diri itu boleh tapi jangan sampai menganggap remeh seseorang karena mungkin ia akan menjadi salah satu saingan terberat.

      Hari demi hari telah berganti, minggu demi minggu telah terlewati, tiba waktunya perjuanganku dimulai. Hari ini sekolah mulai giat memberiku bekal materi untuk olimpiade nanti. Lomba akan dimulai 3 bulan lagi, sementara sekolah hanya memberikan bimbingan selama 1 bulan, selebihnya aku yang harus berjuang agar dapat bersaing dengan sekolah lain. Bimbingan dimulai setelah kegiatan belajar mengajar selesai dengan dibimbing oleh Pak Ade, Bu Tika, Bu Irma, dan Bu Siti. Mereka terlihat begitu semangat memberikanku bekal materi, aku dibuat geleng-geleng kepala melihat semangat guru-guru ku. Lelah itu pasti, tapi aku sangat menikmati proses ini. Semoga saja segala lelah ini akan terbayarkan dengan hasil yang baik.

      Perjuangan ini diibaratkan seperti sedang mendaki gunung. Kita tidak tahu seberapa jauh dan terjal perjalanan yang akan kita lalui. Mungkin jika kita terlalu tergesa-gesa, kita akan celaka. Begitu pun sebaliknya, jika kita terlalu mudah untuk menyerah, akan banyak kesempatan yang terbuang. Sabar adalah kuncinya. Semua perjuangan yang didasari dengan kesabaran akan terbayarkan dengan keindahan yang telah disuguhkan di depan sana. Bisa dibilang kini aku sedang berada di tengah pendakian itu. Kembali pada kenyataan bahwa halangan itu pasti ada. Tak ada jalan yang mulus-mulus saja. Di tengah kobaran semangat, aku harus dihadapkan dengan kenyataan bahwa banyak dari temanku yang kurang setuju jika aku ikut berpartisipasi lagi dalam perlombaan olimpiade ini. Bahkan ada yang terang-terangan menolak ku agar aku tak ikut berpartisipasi lagi dalam perlombaan ini.

      "Eh denger-denger kamu dipilih jadi peserta olimpiade lagi ya? Kok bisa sih, padahal dulu udah pernah ikut tapi gak menang kan? Terus di sekolah ini juga masih banyak yang lebih baik, kenapa harus kamu lagi?" Ujar Shella.

      "Iya, padahal Marsa juga pinter, kok gak dipilih sih? Harusnya kan ada seleksi dulu biar adil, yakan?" Ujar Icha.

      Aku tak marah pada mereka, hanya sedikit kesal karena apa yang mereka bicarakan adalah fakta. Mereka benar, masih banyak siswa dan siswi berprestasi di sekolah ini, kenapa harus aku? Begitulah kehidupan. Sebaik apa pun perilaku yang kita tunjukkan, ada saja orang yang tak menyukai kita. Aku bukanlah orang yang selalu menutup telinga saat ada orang yang membicarakan keburukanku. Jiwa yang tadinya penuh dengan semangat kini hanya diisi dengan keraguan. Aku kembali ragu pada diriku sendiri. Haruskah aku menyerah saja? Selagi perjuanganku belum terlalu jauh, aku tak apa jika harus turun dari pendakian ini.

      Kembali lagi, bunda selalu menjadi rumah ternyaman untuk keluarganya. Bunda merupakan tempat pulang paling aman disaat dunia sedang tak berpihak padaku. Aku mengeluarkan seluruh keluh-kesahku. Aku juga menceritakan apa saja yang orang-orang katakan padaku. Bunda tersenyum. Mungkin bunda merasa lucu melihat remaja labil ini sedang dihadapkan dalam keraguan.

      "Nak, tangan Luna ini memang gak bisa menutup semua mulut mereka, tapi bisa buat menutup mata atau telinga Luna kan? Kenapa gak dilakuin? Kalo Luna gagal, toh gak ngerugiin mereka. Mereka tuh cuman iri aja sama anak bunda ini. Inget, Allah gak suka sama hamba-Nya yang dikit-dikit nyerah. Lanjut ya, kalo Luna sabar, insyaallah, udah ada hadiah di depan sana. Dikit lagi sayang, sabar ya. Tunjukkin sama mereka, anak bunda ini pasti bisa. Kalo Luna mundur, mereka bakal mikir Luna emang gak pantes buat kompetisi ini. Coba inget-inget lagi, Luna nyesel dulu kalah karena apa? Karena Luna kurang usahanya kan? Makanya Luna nyesel. Sekarang coba Luna usaha semaksimal mungkin, kalaupun kemungkinan terburuknya Luna belum beruntung lagi, seenggaknya Luna sudah berusaha. Semangat, bunda percaya anak-anak bunda hebat semua."

      Bunda selalu berhasil menjadi pelangi di tengah hujan badai. Bunda juga berhasil menjadi rembulan di tengah gelapnya malam. Benar, jika aku mundur dari kompetisi ini, mereka akan membenarkan pikiran mereka jika aku tak pantas berpartisipasi dalam kompetisi. Aku kembali bertekad bahwa aku pantas mendapatkan kesempatan untuk kedua kalinya. Aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk memenangkan lomba olimpiade kali ini.

      Tak terasa perlombaan akan dilaksanakan 1 minggu lagi. Aku semakin giat mempelajari materi yang telah diberikan oleh guru-guruku. Rasanya waktu berjalan begitu cepat. Tapi tak apa, aku yakin bahwa bekalku sudah cukup untuk bersaing dengan sekolah lain. Waktu yang tersisa kuhabiskan untuk kembali mengulang materi yang telah kupelajari sebelumnya. Guru-guru sama sekali tidak membebaniku, mereka benar-benar seperti orang tua kedua bagiku. Aku selalu mengingat kata-kata sederhana yang mereka ucapkan padaku, katanya kalah dan menang adalah hal lumrah dalam kompetisi, jadikan kompetisi ini sebagai pengalaman berharga, menang itu bonus tapi berusaha itu harus. Jangan takut, tak ada yang bisa menjatuhkan dirimu kecuali dirimu sendiri. Ya, tak ada yang bisa menjatuhkanku kecuali diriku sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun