Di sebuah rumah tua berdinding kayu jati yang kokoh meski dimakan usia, hidup seorang lelaki sepuh bernama Karti. Ia bukan siapa-siapa di mata kebanyakan orang, hanya seorang pria sederhana dengan tubuh kurus, kulit legam, dan tangan penuh keriput. Tapi bagi dunia jurnalistik, terutama bagi koran Suara Rakyat, nama Mbah Karti adalah legenda. Ia bukan sekadar wartawan, melainkan maestro kuli tinta, sosok yang mendedikasikan lebih dari separuh hidupnya untuk mengabdi pada kebenaran lewat tulisan.
Mbah Karti memulai kariernya di dunia jurnalistik di usia 21 tahun. Saat itu, ia hanyalah lulusan SMA yang mencintai buku dan selalu haus akan berita. Ia menyusup ke ruang redaksi sebagai tukang ketik cadangan. Namun tulisannya yang rapi dan ide-idenya yang tajam segera menarik perhatian pemimpin redaksi.
Sejak itu, pena menjadi senjatanya. Ia meliput berbagai peristiwa penting: penggusuran paksa, aksi mahasiswa, bencana alam, hingga sidang DPR. Tak hanya melaporkan, ia juga menulis dengan gaya yang khas: mengalir, puitis, tapi penuh sindiran tajam. Ia dikenal karena kemampuannya menulis tajuk yang bisa membuat pejabat gelisah dan pembaca terharu.
Namun kejayaan itu tidak datang tanpa harga. Beberapa tulisannya dianggap terlalu kritis oleh penguasa. Ia sempat diperiksa, diinterogasi, bahkan dilarang menulis selama beberapa bulan. Namun Mbah Karti tak goyah. Baginya, wartawan bukan hanya profesi, melainkan jalan hidup.
"Selama tinta masih bisa mengalir, kebenaran tak akan mati," begitu semboyannya.
Di balik keberaniannya, ada sosok perempuan yang selalu berdiri tenang: Bu Siti, istrinya. Ia adalah guru SD, sederhana, sabar, dan sangat memahami hidup seorang jurnalis idealis yang lebih sering pulang tengah malam atau tidak pulang sama sekali karena harus meliput.
"Mas Karti itu lebih sering tidur di meja redaksi daripada di rumah," canda Bu Siti saat mengenang masa muda mereka.
Mereka hidup hemat. Kadang honor tulisan telat cair, kadang hasil liputan tidak dimuat. Tapi mereka tetap bertahan, membesarkan satu anak perempuan mereka, Sari, dengan penuh cinta.
Purnatugas yang Tak Pernah Benar-Benar Usai
Di usia 63, Mbah Karti pensiun. Bukan karena kehabisan semangat, tapi karena tubuhnya mulai lelah. Ia tak lagi kuat berjalan jauh, apalagi menyusup ke lapangan. Namun pensiun dari kantor bukan berarti pensiun dari menulis. Ia tetap mengisi kolom lepas, menulis memoar, bahkan kadang memberi pelatihan jurnalistik gratis untuk anak-anak muda di kampung.