Mohon tunggu...
Della Dwi Saputri
Della Dwi Saputri Mohon Tunggu... -

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Bumi Manusia, Eropa, dan Pribumi

12 Mei 2018   16:44 Diperbarui: 13 Mei 2018   12:09 2502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

( hal.77, Jean Marais)

Minke berani mengambil keputusan untuk tinggal di Wonokromo bersama Annelies dan Nyai Ontosoroh walaupun pendapat umum mengenai rumah tersebut negatif. Minke mulai mengagumi sosok Nyai yang merupakan seorang Pribumi tetapi tidak dengan pemikirannya, budaya, pengetahuannya dan kecakapannya dalam bekerja setara dengan wanita Eropa yang terpelajar.

Rasa ingin tahu Minke yang cukup besar terhadap Nyai Ontosoroh yang baginya merupakan guru dalam kehidupan. Pram menceritakannya dengan detail setiap bagian-bagiannya, termasuk masa lalu Sanikem atau di novel Bumi Manusia lebih sering disebut Nyai Ontosoroh. Sanikem memiliki ayah bernama Sastrotomo yang dihormati karena satu-satunya yang dapat baca tulis di desanya.

Bekerja sebagai juru tulis di kantor tapi belum merasa puas akan jabatan tersebut, Sastrotomo menginginkan sebagai juru bayar hingga segala cara sudah ditempuh tetapi tak ada hasilnya juga. Hingga akhirnya Sanikem yang menjadi korban atas keserakahan ayahnya, Sanikem dijualnya pada Tuan Administratur berkulit putih tak lain Tuan Herman Mellema demi sebuah jabatan.

Tak bisa Sanikem dan Ibunya membantah perintah Sastrotomo karena memang adat jawa seperti itu, yang memberikan keputusan adalah orang yang tua. Di sini Pram juga menggambarkan bagaimana dulu gender masih di permasalahkan. Hanya karena seorang wanita bukan berarti tak bisa memutuskan hal yang terpenting dalam hidupnya.

Pada novel Bumi Manusia, dapat dilihat bagaimana apiknya Pram menggambarkan berbagai kebudayaan seperti Eropa yang menganggap bahwa budayanya lebih tinggi dari budaya manapun, adat jawa yang masih kental dengan sembah sujudnya, mengataskan segalanya pada yang tertua dan tak memberikan kebebasan berpendapat bagi yang muda. Ilmu pengetahuan bagaikan tak dihiraukan dalam adat jawa.

"Sungguh, teman-teman sekolah akan menertawakan aku

Sekenyangnya melihat sandiwara bagaimana manusia,

Biasa berjalan sepenuh kaki, di atas telapak kaki sendiri, sekarang

Harus berjalan setengah kaki, dengan bantuan dua belah tangan.

Ya Allah, kau nenek moyang, kau, apa sebab kau ciptakan adat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun