Mohon tunggu...
Della Dwi Saputri
Della Dwi Saputri Mohon Tunggu... -

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Bumi Manusia, Eropa, dan Pribumi

12 Mei 2018   16:44 Diperbarui: 13 Mei 2018   12:09 2502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Tetralogi Buru ditulis Pramoedya Ananta Toer waktu masih mendekam di kamp kerja paksa tanpa proses hukum pengadilan di Pulau Buru. Tetralogi ini merupakan roman empat serial : Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Bumi Manusia merupakan buku pertama dari Tetralogi Buru yang ditulis Sastrawan Indonesia terkenal yaitu Pramoedya Ananta Toer.

Dalam novel Bumi Manusia, Pram nama panggilannya menceritakan seorang keturunan Jawa bernama Minke (baca:mingke) yang tercatat sebagai pelajar di H.B.S dimana pada jaman dulu pribumi tidak bisa sekolah sampai sejauh itu, apalagi di H.B.S sebuah sekolah yang kebanyakan siswanya dari kaum totok Belanda, hanya Minke satu-satunya Pribumi.

Bumi Manusia juga menceritakan bagaimana rumitnya kehidupan tokoh utama yaitu Minke dalam menghadapi berbagai masalahnya, tak lupa juga Pram menggambarkan bagaimana kehidupan seorang Pribumi yang tak mampu lepas dari bayang-bayang seorang Eropa.

Pram menggambarkan karakter Minke sebagai seorang yang cerdas, pandai menulis, berilmu pengetahuan, mampu membaca dan menulis bahasa Belanda dengan baik walaupun seorang Pribumi, berani melawan penindasan terhadap dirinya dan bangsanya. Latar waktu diambil pada abad ke-20 an dengan tempat sekitar Wonokromo dan Surabaya.

Kisah Minke bermula saat bersekolah di H.B.S. Minke diajak oleh temannya yang bernama Robert Suurhof yang memanggil Minke dengan sebutan philogynik, ke daerah Wonokromo, sebuah rumah berpapan nama Boerderij Buitenzorg yang merupakan rumah Belanda dengan penghuninya seorang Indo dan terdapat seorang Pribumi.

Sebuah rumah yang membuat kehidupan Minke berubah dan tepat di sinilah akan banyak permasalahan muncul. Tanpa di sengaja kunjungan Minke dan Robert Suurhof ke Wonokromo membuat Minke mengenal Keluarga Tuan Herman Mellema dengan Gundiknya Nyai Ontosoroh yang merupakan keturunan Pribumi dengan anaknya yang Indo Robert Mellema dan Annelies Mellema.


Kisah percintaan Minke dan Annelies pun di mulai, Minke yang jatuh cinta pada pandang pertama kepada dara keturunan Indo, Annelies Mellema yang digambarkan bak seorang bidadari dengan kulitnya yang putih, halus, mata bagaikan sepasang kejora. Sepertinya keberuntungan sedang ada di pihak Minke, Annelies pun juga mencintai Minke pada hari pertama mereka berjumpa, sebab tak pernah ada tamu di rumah mewah tersebut semenjak sebuah tragedi besar menimpa keluarga Mellema.

Minke merupakan tamu pertama Annelies dan yang membuat keceriaan di dalam rumah berpapan nama Boerderij Buitenzorg. Semenjak kunjungan Minke ke Wonokromo, Annelies selalu merindukan Minke dan sebaliknya Minke selalu memikirkan Annelies.

Surat datang dari Wonokromo ke pemondokan Minke, surat berisi permintaan kunjungan Minke ke Wonokromo demi seorang dara cantik yang sedang merindukan dirinya. Desakan Nyai Ontosoroh yang meminta Minke untuk tinggal di rumahnya bersama Annelies.

Minke gelisah dan bimbang, memikirkan pendapat umum tentang keluarga Nyai Ontosoroh yang seorang Gundik. Gundik berarti simpanan orang Eropa, tinggal bersama dan tidak menikah secara resmi, Nyai merupakan sebutan untuk seorang Gundik pada masa kolonial.

"Pendapat umum perlu dan harus diindahkan, dihormati, kalau benar. Kalau salah, mengapa diindahkan dan dihormati? Kau terpelajar Minke, seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu"

( hal.77, Jean Marais)

Minke berani mengambil keputusan untuk tinggal di Wonokromo bersama Annelies dan Nyai Ontosoroh walaupun pendapat umum mengenai rumah tersebut negatif. Minke mulai mengagumi sosok Nyai yang merupakan seorang Pribumi tetapi tidak dengan pemikirannya, budaya, pengetahuannya dan kecakapannya dalam bekerja setara dengan wanita Eropa yang terpelajar.

Rasa ingin tahu Minke yang cukup besar terhadap Nyai Ontosoroh yang baginya merupakan guru dalam kehidupan. Pram menceritakannya dengan detail setiap bagian-bagiannya, termasuk masa lalu Sanikem atau di novel Bumi Manusia lebih sering disebut Nyai Ontosoroh. Sanikem memiliki ayah bernama Sastrotomo yang dihormati karena satu-satunya yang dapat baca tulis di desanya.

Bekerja sebagai juru tulis di kantor tapi belum merasa puas akan jabatan tersebut, Sastrotomo menginginkan sebagai juru bayar hingga segala cara sudah ditempuh tetapi tak ada hasilnya juga. Hingga akhirnya Sanikem yang menjadi korban atas keserakahan ayahnya, Sanikem dijualnya pada Tuan Administratur berkulit putih tak lain Tuan Herman Mellema demi sebuah jabatan.

Tak bisa Sanikem dan Ibunya membantah perintah Sastrotomo karena memang adat jawa seperti itu, yang memberikan keputusan adalah orang yang tua. Di sini Pram juga menggambarkan bagaimana dulu gender masih di permasalahkan. Hanya karena seorang wanita bukan berarti tak bisa memutuskan hal yang terpenting dalam hidupnya.

Pada novel Bumi Manusia, dapat dilihat bagaimana apiknya Pram menggambarkan berbagai kebudayaan seperti Eropa yang menganggap bahwa budayanya lebih tinggi dari budaya manapun, adat jawa yang masih kental dengan sembah sujudnya, mengataskan segalanya pada yang tertua dan tak memberikan kebebasan berpendapat bagi yang muda. Ilmu pengetahuan bagaikan tak dihiraukan dalam adat jawa.

"Sungguh, teman-teman sekolah akan menertawakan aku

Sekenyangnya melihat sandiwara bagaimana manusia,

Biasa berjalan sepenuh kaki, di atas telapak kaki sendiri, sekarang

Harus berjalan setengah kaki, dengan bantuan dua belah tangan.

Ya Allah, kau nenek moyang, kau, apa sebab kau ciptakan adat

Yang menghina martabat turunanmu sendiri begini macam ?"

(hal. 181, Minke)

Adegan sentimentil yang digambarkan Pram antara Minke yang merupakan pelajar dan memiliki ilmu pengetahuan seperti orang Eropa dihadapkan dengan Ayahandanya seorang Bupati keturunan darah raja yang menggenggam adat jawa sepenuhnya, dimana terdapat perbedaan yang sangat ketara dari cara berpikirnya.

Ayahanda Minke yang mengetahui bahwa putranya sudah lama tinggal bersama Gundik merasa malu bagaimana seorang terpelajar siswa H.B.S bisa tinggal dengan seorang gundik, simpanan orang Eropa. Ayahanda Minke yang takut akan pendapat umum, berbeda dengan Minke yang tak menelan mentah-mentah pendapat umum tersebut tetapi dengan hasil belajarnya selama ini, mampu membedakan mana yag benar dan salah.

Tak hanya Ayahandanya, pihak sekolah pun setelah mendengar kabar bahwa Minke tinggal bersama Gundik Tuan Mellema, membuat Minke di keluarkan dari sekolah. berkat kepandaiannya menulis, Minke menuangkan ketidakpuasannya dalam tulisan yang lalu dia kirim ke sebuah koran sehingga membuat dia kembali masuk ke sekolah.

Sampai Minke lulus dari H.B.S akhirnya Minke mempersunting Annelies agar tidak ada omongan dari orang lain dengan restu Bundanya dan Nyai Ontosoroh. Kehidupan pernikahan Minke dan Annelies tak berjalan lancar. Masalah datang, kali ini dari pengadilan yang ditunjukan untuk Annelies dan Nyai Ontosoroh dari Mevrouw Amelia Mellema Hammers dan anaknya Ir. Maurits Mellema yang merupakan istri dan anak yang sah dari Tuan Herman Mellema yang ingin mengambil semua harta benda mendiang Herman Mellema dan sekaligus merampas Annelies dari Minke dan Nyai Ontosoroh.

Segalanya cara telah ditempuh Nyai dan Minke dari melalui jalur hukum sampai tulisan-tulisan Minke yang di sebar ke berbagai kampung untuk mendapat dukungan atas ketidakadilan hukum pengadilan putih terhadap Pribumi. Dari penggambaran tersebut Pram mencoba memberitahukan bagaimana hukum pada masa kolonial yang masih cacat dan tak berpihak kepada Pribumi. Seberapa kerasnya pribumi melawan, tetap orang berkulit putih, Eropa itu yang akan memenangkan.

"Persoalannya tetap Eropa terhadap Pribumi, Minke, terhadap diriku. Ingat-ingat ini: Eropa yang menelan Pribumi sambil menyakiti secara sadis. Eropa hanya kulitnya yang putih, hatinya bulu semata"

(hal.489, Sanikem)

"Pada saat itu juga aku mengerti, kami akan kalah dan kewajiban kami hanya melawan, membela hak-hak kami, sampai tidak bisa melawan lagi---seperti bangsa Aceh di hadapan Belanda menurut cerita Jean Marais"

(hal.493, Minke)

Dan pada akhirnya Annelies di bawa oleh Ir. Maurits Mellema ke sebuah negara dengan tanahnya yang rendah. Yang tersisa hanya tangis, kesengsaraan untuk Pribumi yang tak mampu berbuat apa-apa di depan pengadilan karena statusnya sebagai Pribumi. Pram sungguh bagus menceritakan bagian demi bagian dalam novel Bumi Manusia.

Melalui novel Bumi Manusia ini, dapat membuka mata seluruh bangsa Indonesia, bagaimana keadaan kita, Pribumi yang masih tertindas oleh Eropa, kekurangan ilmu pengetahuan dalam negerinya sendiri. Pram menggambarkan betapa pentingnya memiliki ilmu pengetahuan demi kehidupan yang baik dan terjauhi dari kata perbudakkan yang pada masa kolonial masih banyak terjadi bahkan sampai sekarang.

Dalam Novel Bumi Manusia, Pram menggunakan bahasa-bahasa yang agak sulit dipahami jika untuk pemula tetapi novel ini dapat menambah wawasan dan sekaligus perbendaharaan kata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun