Aku berusaha menata diri dengan mengumpulkan ketenangan yang tersisa, tapi gagal.
"Teman-teman, mohon maaf mengganggu waktunya sebentar. Mulai besok aku tidak lagi bekerja bersama kalian. Aku minta kalian memaafkan bila ada kesalahan yang tidak disengaja atau ada yang tidak berkenan dengan apa yang kulakukan selama berada di antara kalian. Mohon maaf juga bila ada pekerjaan yang tidak bisa diselesaikan dengan baik."
"Mba Wita jadi pindah divisi?"
Dessy seperti tak sabar mendengar penjelasanku.
"Lho Wit kamu jadi dipindahkan ke kantor cabang?"
Mba Ditta pun menyambung dengan pertanyaan yang senada.
"Nggak Des, Mba Ditta, tidak keduanya. Aku lebih memilih resign."
"Kamu sudah pikirkan keputusanmu, kamu mendapat pekerjaan di tempat lain, bagaimana dengan biaya pengobatan ibumu? Kamu sedang membutuhkan banyak uang untuk ibumu."
"Keputusanku sudah bulat Mba Ditta, meskipun belum mendapat pekerjaan di tempat lain, semoga Allah memberi jalan untuk mendapatkan rezeki yang halal dan yang pasti untuk saat ini bukan di sini tempatnya."
Aku mulai membereskan meja kerja dan berkas-berkas laporan keuangan yang harus aku selesaikan hari ini karena ini adalah hari terakhirku sehingga tidak meninggalkan pekerjaanku begitu saja. Beberapa teman menyayangkan ketika aku memutuskan resign dari perusahaan besar yang sebetulnya cukup memberi kenyamanan dan penghidupan yang layak untuk aku dan ibuku.
Sore itu langkahku terasa lebih ringan saat meninggalkan tempat kerja, nyaris tanpa beban tidak seberat yang kuduga sebelumnya. Tidak ada rasa takut atau kuatir sedikitpun. Karena keputusanku resign sudah bulat dan keputusan yang sudah kupertimbangkan jauh hari sebelumnya. Bila harus memilih pekerjaan atau keluarga, maka keluargalah yang akan menjadi pilihanku, Bukankah kita menjalani semua pekerjaan ini adalah untuk keluarga?