Masyarakat Bali masih menjalankan berbagai ritual keagamaan secara rutin, seperti persembahyangan atau upacara di pura. Namun dalam praktik sehari-hari nilai spiritual ini kadang hanya sebatas ritual seremonial. Masih ada perilaku yang tidak selaras dengan ajaran spiritual, misalnya membuang sampah ke sungai, kurang disiplin menjaga kebersihan lingkungan, atau berperilaku kurang jujur meskipun rajin sembahyang. Ini menunjukkan bahwa nilai spiritual belum sepenuhnya terinternalisasi dalam tindakan nyata.
Dalam konteks banjir, kesadaran spiritual ini harus diterjemahkan menjadi etika lingkungan: tidak membuang sampah sembarangan, tidak merusak sumber air, dan berdoa sambil beraksi menjaga bumi.
- Nilai Sosial (Pawongan): Hakikat manusia sebagai makhluk sosial, manusia adalah makhluk sosial yang memerlukan solidaritas. Pengetahuan sosial diperoleh lewat pengalaman bersama dan sosialisasi (Mariantika dan Nerawati, 2022).
Nilai gotong royong dan toleransi menjaga harmoni, gotong royong membersihkan saluran air, musyawarah warga untuk pengelolaan sampah, hingga partisipasi adalah praktik Pawongan yang memperkuat kesiapsiagaan bencana.
Namun, dalam kehidupan sehari-hari kehidupan berinteraksi masyarakat semakin menurun. Kehidupan sosial makin individualistis; gotong royong berkurang; ngayah hanya dilakukan saat upacara tertentu. Gotong royong dan semangat ngayah di Bali sebenarnya masih ada, terutama saat upacara adat dan kegiatan desa. Namun, di banyak tempat semangat ini mulai melemah karena kesibukan, individualisme, dan orientasi ekonomi.
Sebagian masyarakat lebih memilih membayar pekerja daripada terlibat langsung dalam kerja bersama. Solidaritas sosial pun terkadang hanya muncul saat acara seremonial, bukan dalam kehidupan sehari-hari.
- Nilai Ekologis (Palemahan): Hubungan manusia dengan alam menjadi fondasi keberlanjutan hidup. Hakikat hubungan manusia dan alam. Pengetahuan ekologis diperoleh lewat pengalaman dan kearifan lokal.
Nilai pelestarian alam untuk keberlanjutan. Melestarikan ruang hijau, mempertahankan sistem subak, dan mengurangi penggunaan plastik adalah wujud nyata menjaga Palemahan (Giri et al., 2021). Namun, dalam kehidupan sehari-hari saat ini sangat bertolak belakang.
Pembangunan yang pesat mengakibatkan berkurangnya ruang hijau, penyempitan daerah resapan air, dan meningkatnya volume sampah, terutama plastik. Lahan hijau yang ada di Bali semakin berkurang karena peningkatan alih fungsi lahan untuk mendukung pariwisata. Alih fungsi lahan yang dilakukan tidak didukung dengan antisipasi bencana yang jelas.
Selain itu, pengelolaan sampah juga belum dilaksanakan dengan baik, menunjukkan minimnya pemahaman yang dimiliki terkait hubungan antara membuang sampah sembarangan dengan fenomena banjir yang terjadi.
Penutup