Pendahuluan
Beberapa waktu belakangan curah hujan yang tinggi di Bali menyebabkan banjir di beberapa daerah. Fenomena ini mengejutkan seluruh masyarakat Bali karena hanya dalam waktu singkat beberapa daerah sudah terendam dengan ketinggian air lebih tinggi daripada banjir yang biasanya terjadi. Jalan-jalan tergenang, aktivitas warga terganggu, dan kerusakan lingkungan semakin nyata. Apabila dipikirkan kembali, apakah penyebab banjir ini sebenarnya?
Banjir di Bali bukanlah kejadian tunggal, melainkan gejala dari kondisi yang mengganggu keseimbangan antara manusia, alam, dan nilai-nilai spiritual yang diwariskan leluhur. Di baliknya ada rangkaian sebab yang saling berkaitan: alih fungsi lahan hijau menjadi kawasan terbangun, pembuangan sampah ke saluran air, dan berkurangnya ruang serapan air hujan. Kondisi ini menunjukkan bahwa keseimbangan antara manusia dan lingkungannya mulai terganggu. Semakin sering terjadinya perubahan iklim, peningkatan suhu global, serta bencana alam yang menjadi bukti nyata dari degradasi lingkungan.
Padahal, di Bali terdapat kearifan lokal Tri Hita Karana sebagai panduan hidup yang menekankan tiga harmoni penting. Namun, ternyata belum dapat diterapkan dengan baik oleh masyarakat dalam kehidupannya. Fenomena banjir ini menjadi titik balik bagi masyarakat untuk dapat memahami, memaknai dan merangkai kembali tiga harmoni dalam Tri Hita Karana untuk diterapkan dalam kehidupan. Artikel ini mengajak pembaca melihat kembali akar masalah banjir di Bali, mengupas nilai-nilai Tri Hita Karana, dan menemukan kembali makna kebahagiaan dan harmoni dalam praktik kehidupan sehari-hari.
Isi
Konsep Kebahagiaan dan Harmoni dalam Tri Hita Karana
Tri Hita Karana terdiri dari tiga kata yaki "Tri" yang berarti tiga, "Hita" yang berarti kebahagiaan/ kesejahteraan, dan "Karana" yang berarti sebab, sehingga Tri Hita Karana dapat diartikan sebagai tiga penyebab kebahagiaan/kesejahteraan.
Tri Hita Karana merupakan falsafah hidup masyarakat Bali yang memuat tiga elemen yang membangun keseimbangan dan keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan (Parahyangan), manusia dengan manusia (Pawongan), dan manusia dengan lingkungannya (Palemahan) yang menjadi sumber kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan bagi kehidupan manusia.
Berbeda dengan pandangan kebahagiaan yang hanya berorientasi pada materi, Tri Hita Karana memandang kebahagiaan sebagai hasil keseimbangan batin, sosial, dan alam. Harmoni bukan sekadar tidak adanya konflik, tetapi keadaan selaras antara diri, sesama, dan alam semesta (Suryawan et al., 2022). Indikator kebahagiaan menurut Tri Hita Karana adalah hidup damai secara spiritual, memiliki relasi sosial yang baik, dan lingkungan yang lestari. Melihat fenomena banjir di Bali, konsep Tri Hita Karana mengingatkan bahwa kebahagiaan jangka panjang tidak akan tercapai jika kita mengabaikan keseimbangan ekologis.
Pariwisata yang menguntungkan secara ekonomi tetapi merusak alam, hal ini justru mengundang bencana dan merugikan semua pihak. Tri Hita Karana harusnya tidak menjadi wacana, tetapi aksi nyata untuk mewujudkan keharmonisan, sehingga pemahaman terkait tiga falsafah ini sangat diperlukan agar dapat menerapkannya dengan baik dalam kehidupan sehari-hari.
Analisis Nilai Spiritual, Sosial, dan Ekologis
- Nilai Spiritual (Parahyangan): Hakikat hubungan manusia dengan Tuhan mengandung pesan menjaga ciptaan-Nya. Pengetahuan spiritual diwariskan lewat ajaran agama dan tradisi. Nilai-nilai ini membentuk etika menjaga alam (Apriliani, 2024). Praktik yang dilakukan masyarakat untuk menjaga hubungan harmonis dengan Tuhannya diwujudkan dalam pelaksanaan upacara adat/ persembahyangan serta pendidikan akhlak di rumah serta sekolah.
Masyarakat Bali masih menjalankan berbagai ritual keagamaan secara rutin, seperti persembahyangan atau upacara di pura. Namun dalam praktik sehari-hari nilai spiritual ini kadang hanya sebatas ritual seremonial. Masih ada perilaku yang tidak selaras dengan ajaran spiritual, misalnya membuang sampah ke sungai, kurang disiplin menjaga kebersihan lingkungan, atau berperilaku kurang jujur meskipun rajin sembahyang. Ini menunjukkan bahwa nilai spiritual belum sepenuhnya terinternalisasi dalam tindakan nyata.
Dalam konteks banjir, kesadaran spiritual ini harus diterjemahkan menjadi etika lingkungan: tidak membuang sampah sembarangan, tidak merusak sumber air, dan berdoa sambil beraksi menjaga bumi.
- Nilai Sosial (Pawongan): Hakikat manusia sebagai makhluk sosial, manusia adalah makhluk sosial yang memerlukan solidaritas. Pengetahuan sosial diperoleh lewat pengalaman bersama dan sosialisasi (Mariantika dan Nerawati, 2022).
Nilai gotong royong dan toleransi menjaga harmoni, gotong royong membersihkan saluran air, musyawarah warga untuk pengelolaan sampah, hingga partisipasi adalah praktik Pawongan yang memperkuat kesiapsiagaan bencana.
Namun, dalam kehidupan sehari-hari kehidupan berinteraksi masyarakat semakin menurun. Kehidupan sosial makin individualistis; gotong royong berkurang; ngayah hanya dilakukan saat upacara tertentu. Gotong royong dan semangat ngayah di Bali sebenarnya masih ada, terutama saat upacara adat dan kegiatan desa. Namun, di banyak tempat semangat ini mulai melemah karena kesibukan, individualisme, dan orientasi ekonomi.
Sebagian masyarakat lebih memilih membayar pekerja daripada terlibat langsung dalam kerja bersama. Solidaritas sosial pun terkadang hanya muncul saat acara seremonial, bukan dalam kehidupan sehari-hari.
- Nilai Ekologis (Palemahan): Hubungan manusia dengan alam menjadi fondasi keberlanjutan hidup. Hakikat hubungan manusia dan alam. Pengetahuan ekologis diperoleh lewat pengalaman dan kearifan lokal.
Nilai pelestarian alam untuk keberlanjutan. Melestarikan ruang hijau, mempertahankan sistem subak, dan mengurangi penggunaan plastik adalah wujud nyata menjaga Palemahan (Giri et al., 2021). Namun, dalam kehidupan sehari-hari saat ini sangat bertolak belakang.
Pembangunan yang pesat mengakibatkan berkurangnya ruang hijau, penyempitan daerah resapan air, dan meningkatnya volume sampah, terutama plastik. Lahan hijau yang ada di Bali semakin berkurang karena peningkatan alih fungsi lahan untuk mendukung pariwisata. Alih fungsi lahan yang dilakukan tidak didukung dengan antisipasi bencana yang jelas.
Selain itu, pengelolaan sampah juga belum dilaksanakan dengan baik, menunjukkan minimnya pemahaman yang dimiliki terkait hubungan antara membuang sampah sembarangan dengan fenomena banjir yang terjadi.
Penutup
Analisis nilai spiritual (Parahyangan), sosial (Pawongan), dan ekologis (Palemahan) pada harapan dan kenyataan memperlihatkan adanya kesenjangan antara kondisi nyata dan kondisi ideal yang diajarkan oleh falsafah Tri Hita Karana.
Parahyangan memberikan dasar spiritual dan etika dalam berperilaku, Pawongan menumbuhkan solidaritas sosial dan gotong royong, sementara Palemahan mengarahkan manusia untuk menjaga keseimbangan dengan alam.
Ketika salah satu diabaikan, harmoni yang diajarkan oleh Tri Hita Karana akan retak dan dampaknya nyata, seperti banjir dan menurunnya kualitas hidup. Fenomena banjir yang terjadi di Bali menjadi salah satu bentuk ujian untuk meninjau kembali dan mengevaluasi penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, falsafah Tri Hita Karana tidak hanya dapat diimplementasikan oleh masyarakat Bali saja, tetapi juga untuk seluruh masyarakat karena nilai yang terkandung di dalamnya bersifat universal. Penerapan Tri Hita Karana tidak sepatutnya hanya menjadi wacana, tetapi memang perlu untuk dipahami bersama karena kita hidup di dunia tidak sendiri, mari bersama-sama menjaga keharmonisan untuk dapat hidup bersama lebih lama.
Daftar Pustaka
Apriliani, N. K. A. (2024). Biopori sebagai implementasi ajaran Tri Hita Karana. Swara Widya: Jurnal Prodi Teologi Hindu STAHN Mpu Kuturan Singaraja, 4(2).
Giri, I. P. A., Ardini, N. L., & Kertiani, N. W. (2021). Tri Hita Karana sebagai landasan filosofis pendidikan karakter ekologis. Sanjivani Jurnal Filsafat, 12(2).
Mariantika, N. P., & Nerawati, N. G. A. (2022). Upaya pelestarian lingkungan Desa Bongkasa berdasarkan ajaran Tri Hita Karana. Cetta: Jurnal Ilmu Pendidikan, 5(4).
Suryawan, I. P., Sutajaya, I. M., & Suja, I. W. (2022). Tri Hita Karana sebagai kearifan lokal dalam pengembangan pendidikan karakter. Jurnal Pendidikan Multikultural Indonesia, 5(2), 50--65.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI