Saya yakin kamu mengenal seseorang atau mungkin dirimu sendiri yang mengalami ini, lulus dari perguruan tinggi dengan IPK nyaris sempurna, aktif organisasi, punya segudang soft skill, bahkan sudah magang di tempat bergengsi. Tapi nyatanya, tetap menganggur. Atau kalaupun dapat kerja, posisi yang didapat terasa "di bawah standar" kualifikasi yang dimiliki.
Fenomena ini bukan sekadar curhatan anak muda atau bumbu motivasi TikTok. Ini nyata. Ini menyakitkan. Dan ini terjadi pada banyak lulusan sarjana setiap tahun di negeri ini.
Sebagai seseorang yang pernah ada di fase itu, saya merasa penting untuk membedah ironi ini. Bukan untuk menyalahkan siapa-siapa, tapi untuk melihat persoalan secara lebih jernih dan mencari solusi bersama.
IPK Tinggi Tak Menjamin: Realita Pasar Kerja Kita
Sejak kecil kita diajarkan: rajin belajar masuk kuliah lulus dengan nilai bagus langsung dapat kerja. Tapi realitasnya, pasar kerja punya logika lain.
Bayangkan seorang lulusan cumlaude jurusan Komunikasi, fasih berbahasa Inggris, ahli menulis, dan pernah magang di agensi PR ternama. Tapi setelah mengirim puluhan lamaran, yang datang hanyalah tawaran menjadi staf admin dengan gaji pas-pasan. Bahkan seringkali... nihil panggilan.
Frustrasi? Sudah pasti. Bingung? Apalagi.
Data resmi BPS menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka untuk lulusan perguruan tinggi pada Februari 2024 mencapai 12,12%, artinya lebih dari satu dari sepuluh sarjana masih belum terserap di pasar kerja. Angka ini jauh lebih tinggi daripada estimasi sebelumnya dan menjadi tanda bahwa fenomena "overqualified tapi nganggur" adalah isu yang nyata dan mendalam. Angka yang terlihat kecil, tapi menyimpan ribuan kisah individu yang merasa stuck, kehilangan arah, dan merasa sia-sia.
Masalah Sistemik: Bukan Salah Mahasiswa Saja
Lalu, apa yang sebenarnya salah? Setidaknya ada empat akar masalah yang saling terkait: