Seno,
Hari ini aku berenang. Tidak untuk olahraga, tidak juga untuk menyegarkan badan. Aku berenang untuk mengambang. Untuk membiarkan tubuhku terapung di air, seperti hatiku yang sudah lama terapung-apung tanpa arah.
Tubuhku ringan, tapi dadaku berat. Namamu datang tanpa aba-aba, seperti hujan yang tiba-tiba hadir, menembus jendela yang lupa ku tutup. Aku mencoba belajar melepaskan mu, Sen. Tapi jujur, rasanya... seperti sakaratul maut.
Melepaskan mu seolah merobek nyawa sendiri.
Tidak ada darah, tidak ada luka yang tampak, tapi seluruh rongga dadaku menjerit pelan. Sakitnya tak bisa kulihat, tak bisa ku jelaskan, tapi aku tahu itu nyata.
Ironisnya, aku melepaskan sesuatu yang bahkan tak pernah ku genggam.
Bagaimana bisa aku merasa kehilangan sesuatu yang tak pernah jadi milikku?
Mungkin jawabannya sederhana: cinta tidak mengenal logika. Ia hanya datang, tumbuh, lalu menuntut ruang.
Tapi di sinilah aku belajar: cinta memang tidak memiliki batas pada rasanya. Rasa bisa terus hidup, liar, bahkan setelah semua pintu tertutup. Tapi cinta punya batas pada ruang hidup.
Ada takdir, ada komitmen, ada dunia orang lain yang tidak bisa ku intervensi hanya karena aku ingin.
Dan kedewasaan, aku rasa, bukan soal mengendalikan rasa. Kedewasaan adalah saat kita sadar: apa yang kita inginkan tidak selalu harus kita miliki.
Aku bisa mencintaimu tanpa harus memilikimu. Aku bisa merelakan mu, tanpa harus berhenti mengingatmu.
Aku sempat tertawa sendiri. Andai aku benar-benar tenggelam karena galau, mungkin besok koran akan menulis: "Seorang wanita patah hati ditemukan mengambang, mirip cendol tanpa es batu." Tragis sekaligus konyol. Kau pasti tergelak membacanya.
Tapi setelah renang itu, aku mengerti.
Melepaskan bukan berarti aku kalah. Melepaskan justru cara paling jujur untuk mencintai dengan bermartabat. Karena memaksa sesuatu yang tak ditakdirkan hanyalah bentuk cinta yang egois.
Seno, aku menulis ini bukan untukmu. Surat ini takkan pernah kukirim. Aku menulis untukku sendiri, supaya aku ingat bahwa aku pernah mencintai begitu keras, dan pernah belajar melepaskan meski rasanya seperti mati perlahan.
Dan jika suatu hari nanti aku mampu tersenyum tanpa lagi menyebut namamu dalam hati, aku ingin mengenangnya begini:
Bahwa ada seseorang bernama Seno yang pernah mengajariku arti pasrah. Bahwa cinta, seindah apapun rasanya, tetap harus tunduk pada ruang hidup yang nyata.
--- Nadira
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI