ibunya ibuku alias nenek atau biasa ku sapa dengan mbah ibu senantiasa memberikan kuliah shubuh di meja makan selama sarapan. Sebelum anak-anak, suami dan juga dua orang cucunya pergi meninggalkan rumah untuk bersekolah atau pun bekerja.Â
Saat itu kadang aku merengek bahkan komplain jika mbah ibu mengajariku matematika khususnya porogapit terlalu cepat. "Jawabannya betul tapi aku ga bisa kalau ngerjain sendiri" Keluhan sambil menyuap nasi pera dan sop ayam kesukaanku.Â
Dengan entengnya mbah ibuku hanya melihat sekilas lalu kembali menyiapkan makanan lain yang belum terhidang. Aku jarang melihat mbah ibuku duduk bersama di meja makan panjang rumah kami. Aku selalu melihatnya sibuk menyiapkan makanan saat semua orang menyantap makanan. Aku hanya melihat mbah ibuku duduk di meja makan sekali sehari yaitu saat makan malam. Saat makan malam mbah ibuku hanya makan berdua saja dengan mbah kakungku. Selepas isya mereka baru makan. Sedang anak-anak selepas magrib dan aku sebagai cucu makan setelah asar pulang dari mengaji di TPA.Â
Tangan mbah ibuku masih saja sibuk menyiapkan hidangan ini itu sesuai dengan selera penghuni rumah. Di dalam rumah ada dua golongan atau kubu pecinta nasi. Kubu nasi pera diisi hanya dua orang yaitu aku dan mbah kakungku. Sedang kubu nasi pulen menuju lembut lembek diisi hampir seluruh penghuni rumah.Â
Menu pelengkap nasi pun terbagi dua kubu. Kubu lauk berkuah  dan lauk tanpa kuah. Aku berada di kubu lauk tanpa kuah. Menu berkuah yang ku mau hanya satu yaitu sop. Selebihnya aku blm mau. Sungguh besar ujian mbah ibuku menghadapi seisi rumah yang terbilang picky eater. Mbah ibuku memasaknya semua sendiri. Bantuan yang ia dapatkan hanya dari mbah kakung yang bangun jam 2 pagi menyiapkan peralatan memasak dan memeras santan aseli dari kelapa. Sedang untuk sore hari terkadang kakakku akan membantu di dapur jika pulang sekolah sebelum asar. Jika tidak maka mbah ibu dengan santai dan piawai melakukannya sendiri.Â
Sehari-hari aku hanya melihatnya di dapur. Bahkan tempat belajar paling nyaman bagiku adalah di dapur sambil memandangi tangan nenekku  yang sibuk tapi mulutnya sibuk berhitung matematika.Â
Pagi hari saat semua orang sibuk sarapan. Nenekku juga sibuk memberi kuliah shubuh. Ia mendengar kakakku mulai main hati kepada pria. Dari anak saudagar tengkulak buah kalau atau cokelat langganan keluarga, teman sekolah, sampai taruna calon polisi. Nenekku dengan santai mengatakan" Jangan berhubungan asmara dengan polisi, pejabat pemerintahan khususnya hukum" Pilih pasangan hidup itu seperti nenek, dari kalangan guru atau  pedangang dalam arti luas pebisnis.Â
Nenek dulu anak polisi. Polisi dengan pangkat rendahan. Nenek ditaksir oleh salah seorang anak petinggi polisi jaman Indonesia baru merdeka. Nenek belum memberikan jawaban apa-apa, tapi keluarga petinggi polisi sudah menyiapkan tenda sudah yakin jika lamaran pasti akan diterima. Mana ada yang menolak lamaran dari keluarga petinggi polisi. Nenekku sebagai seorang perempuan merasa harga dirinya terkoyak. Alih-alih memilih anak petinggi polisi justru nenekku memilih Seorang guru ilmu bumi dengan gaji yang terbilang kecil.Â
Saat itu aku masih kecil berusia 9 tahun. Aku belum mengerti apa maksud pesan nenek yang setiap hari hampir diulang-ulang seperti kaset rusak. Hingga tiba pada usiaku menginjak 19 tahun aku bertemu dengan Rio. Saat itu Rio adalah pria yang melihat wajahnya saja sudah membuat tertawa. Pria yang lucu juga kocak. Saat itu kami sering terlibat di berbagai pertemuan dan di sela-sela makan siang. Â Aku merasa bertemu teman lama saat bertemu dengan Rio di kampus. Karena aku dan Rio selesai rapat pergi ke swalayan membeli beberapa makanan ringan juga ke kantin untuk makan siang.Â
Dalam beberapa event aku, Rio, juga Lintang kerap makan sepiring bertiga. Rio diapit oleh dua perawan seloroh beberapa teman-teman kuliah kami. Rio juga pandai mendengarkan orang lain. Saat pertama kali bertemu. aku menanyakan pertanyaan standar siapa namanya dan dari jurusan apa. Hingga tidak terasa pembicaraan standar itu mengalir menjadi obrolan yang hidup di atara aku, lintang juga Rio. Â Aku menceritakan bagaimana larangan nenek moyangku untuk menjalin hubungan asmara dengan pegawai pemerintahan, karena nanti harus siap pindah-pindah kesana kemari. Seperti nenekku 12 bersaudara yang lahir 12 wilayah yang berbeda semua. Giliran Rio bercerita. Bahwa teman semasa aliyah yang dulu juga begitu, tidak beda jauh dengan keadaan nenekku. Ayahnya bekerja sebagai Diplomat. Saat mengucapkan Diplomat, aku melihat sorot mata Rio yang berbinar, tanda itulah yang diinginkan. Rio pun masih melanjutkan menikahi Diplomat atau semisalnya sama saja dengan menikahi negara. Harus siap pindah kemana saja. "Seperti kucing" Selorohku tanpa rasa bersalah. Hahahah Lintang tertawa renyah sambil bersiap meninggalkan ruangan. Hari itu pun aku telah mengeliminasi Rio dalam daftar urusan asmara.Â
Hati kecilku menginginkan bersama Rio, tapi logika ku menghalanginya. Perang pun dimulai dalam dadaku. Inilah cerita cinta ibunya ibuku yang telah berhasil membimbing urusan asmara yang penuh dengan peperangan lagi kebimbangan. Saat hati mau tak apa daya karena tak mampu.Â