Tentu kita heran memahami cara berpikir orang berwenang di bangsa kita. Bisa-bisanya nota-nota/dokumen bisnis ingin disamakan dengan buku?
Dalam aturan adminstrasi perkantoran, memang, ada rentang waktu tertentu (bisa 20-50 tahun) ketika perusahaan memperbolehkan untuk membuang dokumen-dokumen yang dianggap sudah kadarluarsa.
Karena alasan relevansi dan penggudangan yang mesti berputar dengan dokumen baru. Itupun harus ekstra hati-hati dalam memilah dan memutuskan.Â
Sedangkan, fenomena ketika karya ilmiah yang dihancurkan tentu tidak memiliki pendasaran logic. Apalagi ketika karya ilmiah tersebut adalah hasil penelitian sekelas tesis hingga disertasi?
Di abad yang sering disebut abad digital hari ini yang dicirikan dengan istilah big data. Fenomena penghancuran buku atau penghancuran karya ilmiah bisa dikatakan suatu bentuk praktik primitif di abad digital yang harus kita kritisi dan lawan bersama, apalagi ketika itu dilakukan oleh institusi negara.
Ini tentang bagaimana bangsa ini diajari adab dan upaya menghormati pengetahuan, buku dan hasil penelitian. Digitalisasi karya ilmiah (katalog) ataupun mendistribusikan ke perpustakaan lain di daerah, saya kira adalah alternatif-alternatif yang masih cukup tersedia untuk dilakukan ketimbang membuang ataupun menjadikan karya tersebut jadi bubuk kertas.