Mohon tunggu...
Muhammad Ruslan
Muhammad Ruslan Mohon Tunggu... Penulis - Pemerhati Sosial

Mengamati, Menganalisis, dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Adab terhadap Buku, Menyoal Pemusnahan Karya Ilmiah PDII

11 Maret 2019   20:31 Diperbarui: 15 Februari 2023   10:23 939
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi resensi ilmiah. (sumber: Shutterstock via kompas.com)

Beberapa hari yang lalu, dalam salah satu media online, saya mengupload rincian buku koleksi pribadi saya untuk dijual. Tentu saja dengan setengah harga. Meski dengan berat hati. Sangat, sangat berat.

Tak ada sesuatu yang terasa berat untuk saya jual kecuali buku. Selain karena satu-satunya hobi saya yang tersisa adalah membaca sekaligus mengoleksi buku. Bahkan seperti dengan kawan-kawan saya lain, sewaktu mahasiswa, kami sudah terbiasa bahkan untuk "berpuasa" demi bisa untuk membeli buku bacaan.

Namun apa boleh buat, ratusan buku yang menumpuk itu harus direlakan karena harus pindah daerah untuk bermukim. Efek harga bagasi berbayar yang menggila, ditambah isu tarif pengiriman ekspedisi yang juga kabarnya ingin naik jor-joran. Itu artinya mengangkut ratusan buku itu juga harus mengeluarkan biaya yang tak sedikit.

Saya punya kegemaran pada buku. Kadang-kadang ketika pulang ke Makassar, saya selalu mengisi aktivitas saya dengan membongkar-bongkar buku-buku koleksi pribadi saya yang lain, membersihkannya dari debu, dan sesekali membaca ulang.

Bahkan di kampung yang jaraknya sekitar hampir 300 km dari Makassar, tempat dimana saya dilahirkan, tumpukan-tumpukan buku sejak SD pun masih tersimpang. Bukan hanya buku paket, LKS, bahkan buku tulis pun masih tersimpang.


Bahkan ibu sekalipun, tak pernah terbesit bahwa kertas-kertas yang sudah muram itu harus dibuang atau dibakar, meski lemari-lemari sudah penuh dengan kertas-kertas dan buku-buku lama tersebut.

Tapi, jauh berbeda dari adab kami di kampung yang pendidikannya pas-pasan ini memperlakukan buku. Saya baru saja membaca berita, bahwa LIPI lewat PDII (Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah) beberapa hari lalu telah melakukan pemusnahan buku karya ilmiah.

Kabarnya sekitar 2 truk buku itu diangkut untuk dikilokan (dimusnahkan). Karya yang bukan cuma sekadar tulisan-tulisan iseng layaknya ketika saya SD, tapi buku tersebut adalah disertasi dan tesis para mahasiswa yang pernah melakukan penelitian yang terdokumentasi di perpustakaan PDII.

Dikabarkan, menurut penuturan peneliti politik senior dari LIPI, Asvi Warman Adam dikutip dari CNN, ia menyebut ada 30.000 tesis dan disertasi yang diangkut. Alasan pemusnahan itu dikabarkan atas alasan reorganisasi karyawan yang membutuhkan ruang baru.

Ini mengerikan sekaligus begitu menyedihkan. Mewakili betapa rendahnya adab bangsa kita terlebih institusi pengetahuan hingga pendidikan kita dalam memperlakukan karya ilmiah.

Bagaimana mungkin, institusi ternama selevel Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang diisi oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi, yang semestinya harusnya menjadi kiblat budaya literasi dan adab terhadap karya ilmiah, bisa begitu "tega" melakukan pemusnahan karya imiah dengan cara seperti itu? 

Kasus pemusnahan karya ilmiah terlebih pada hasil penelitian bukan kali ini saja terjadi. Tiga tahun lalu, di Makassar di salah satu kampus negeri juga terjadi, bagaimana skripsi itu berceceran dibuang ke tong sampah.

Di tengah krisis literasi yang melanda bangsa kita yang terus digaungkan, mempertontongkan penghancuran karya ilmiah demikian adalah suatu simptom dari gejala bangsa kita yang seolah anti-pengetahuan.

Fenomena pemusnahan hasil penelitian ini, sama barbarnya dengan fenomena sweeping buku yang getol dilakukan aparat militer akhir-akhir ini. Ia memperlihatkan sebuah simptom dari sebuah masyarakat yang mengalami pendangkalan literasi sekaligus mengalami pendangkalan adab terhadap buku dan hasil penelitian.

Rasa-rasanya, kita tidak sekadar mengalami pendangkalan budaya literasi, tapi juga mengidap pendangkalan adab terhadap buku dan karya ilmiah. Hal yang justru dipertontongkan oleh orang berpendidikan tinggi, apalagi sekelas LIPI?

Dalam hal adab, bagi saya, membakar, membuang, ataupun mendaurulang buku atau karya ilmiah bukanlah adab kaum terpelajar terlebih ketika itu dilakukan oleh institusi akademis.

Cara kita menghargai buku dan karya ilmiah adalah menggambarkan kualitas kita terhadap pengetahuan. Saya teringat Wiji Thukul, penyair yang dihilangkan itu, meski ia tidak tamat SMA, tapi kecintaannya terhadap buku sangat tinggi terlihat dari adab ia memperlakukan buku. 

Thukul sering menegur kawan-kawannya ketika ia melihat buku digunakan sebagai penyangga makanan. Alasannya sederhana, buku adalah karya pikiran yang dihasilkan dengan tidak mudah.

gambar: liputan6.com
gambar: liputan6.com
Buku adalah benda paling berharga di dunia. Di dalamnya semua ilmu diikat. Karena itu, sejarah penghancuran peradaban selalu diikuti oleh sejarah penghancuran buku. Apa yang paling menyedihkan dari sebuah perang di masa lalu adalah ketika buku-buku, arsip, dan karya juga ikut dihancurkan.

Ketika Baghdad diinvasi oleh bangsa Mongol dalam suatu perang yang menelan ratusan ribu nyawa di abad ke-12 , buku-buku pun tak ketinggalan dihancurkan, dibuang ke Sungai Tigris. 

Perang salib juga mengingatkan kita bagaimana jutaan buku dihancurkan. Dan, di Indonesia, tak perlu menunggu ada musuh yang datang menghancurkan buku dan karya limiah kita, ironisnya kita sudah terbiasa melakukannya sendiri.

Tentu kita heran memahami cara berpikir orang berwenang di bangsa kita. Bisa-bisanya nota-nota/dokumen bisnis ingin disamakan dengan buku?

Dalam aturan adminstrasi perkantoran, memang, ada rentang waktu tertentu (bisa 20-50 tahun) ketika perusahaan memperbolehkan untuk membuang dokumen-dokumen yang dianggap sudah kadarluarsa.

Karena alasan relevansi dan penggudangan yang mesti berputar dengan dokumen baru. Itupun harus ekstra hati-hati dalam memilah dan memutuskan. 

Sedangkan, fenomena ketika karya ilmiah yang dihancurkan tentu tidak memiliki pendasaran logic. Apalagi ketika karya ilmiah tersebut adalah hasil penelitian sekelas tesis hingga disertasi?

Di abad yang sering disebut abad digital hari ini yang dicirikan dengan istilah big data. Fenomena penghancuran buku atau penghancuran karya ilmiah bisa dikatakan suatu bentuk praktik primitif di abad digital yang harus kita kritisi dan lawan bersama, apalagi ketika itu dilakukan oleh institusi negara.

Ini tentang bagaimana bangsa ini diajari adab dan upaya menghormati pengetahuan, buku dan hasil penelitian. Digitalisasi karya ilmiah (katalog) ataupun mendistribusikan ke perpustakaan lain di daerah, saya kira adalah alternatif-alternatif yang masih cukup tersedia untuk dilakukan ketimbang membuang ataupun menjadikan karya tersebut jadi bubuk kertas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun