Mohon tunggu...
Muhammad Ruslan
Muhammad Ruslan Mohon Tunggu... Penulis - Pemerhati Sosial

Mengamati, Menganalisis, dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fenomena Said Aqil Siroj dan Krisis Budaya Literasi Kita

29 Januari 2019   09:14 Diperbarui: 29 Januari 2019   09:30 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar: detik.news.com

Terakhir, adalah kasus Said Aqil Siroj, Ketua Umum PBNU. Pernyataan, Said Aqil siroj pada Harla ke-73 Muslimat NU di Jakarta (27/1) yang berbunyi, "Imam masjid, khatib-khatib, KUA-KUA, menteri agama, harus dari NU. Kalau dipegang selain NU, salah semua. Nanti banyak (tuduhan) bidah kalau selain NU. Ini bidah nanti, tari-tari sufi bidah nanti", ujarnya.

Sontak setelah video itu viral, pro-kontra lalu kemudian ramai. Dari berbagai level, satu persatu orang-orang mengomentarinya. Ada yang membela, dan tentu saja ada yang mengkritik.

Saya mencoba menepi. Mengulang berkali-kali potongan video itu. Lalu sampai pada perasaan-perasaan dan pertanyaan-pertanyaan. Pikirku; gagal paham? Kritik, caci-maki, hingga pembelaan berseliweran. Seolah-olah begitu sulitnya orang-orang kita memahami teks-konteks sederhana itu. Apakah ini bukti konkrit dari kenyataan akan budaya literasi kita yang menyedihkan itu?

Di masyarakat yang mengalami pendangkalan budaya literasi, orang-orang tak bisa membedakan antara semiotik, teks, dan substansi. Kalimat-kalimat metafora, paradoks, anekdot, apalagi sekelas sarkasme, hingga satire, tak pernah benar-benar bisa ditangkap maknanya dengan baik.

Orang-orang hanya bisa dan lebih senang berputar-putar pada permukaan teks yang kaku, rigid, dan tekstualis. Seolah ingin mengulang sebuah cara berpikir bahwa tidak ada makna kebenaran selain teks itu sendiri. Lalu, disitulah orang-orang akan ramai-ramai menghakimi suatu teks, sembari menafikan makna yang sesungguhnya.

Dalam penghakiman massal demikian, sang penutur lalu dimatikan. Kebenaran tafsir atas makna lalu kemudian direbut oleh orang-orang penangkap makna. Dengan menjadikan teks sebagai legitimasi kebenaran atas monopoli makna yang telah direbut secara tidak fair untuk menghakimi. Kedengaran seperti tirani? ya!

Fenomena gagal paham ini selalu terjadi dan ikut membonsai setiap percakapan ruang publik kita. Entah itu di media sosial hingga dunia nyata. Di media sosial, kita sering kali menemukan orang-orang demikian. Gagal paham atas suatu teks, lalu diikuti dengan penghakiman-penghakiman destruktif kepada sang penutur. Padahal persoalannya kadang-kadang tidak terletak pada penutur, apalagi teks, tapi terletak pada kedangkalan penangkap dalam mengungkap makna di balik teks.

Mari kita menelaah kasus Said Aqil Siroj sebelumnya. Ada dua pendekatan untuk memahami makna pernyataan tesebut. Pendekatan pertama, pendekatan tekstual. Pendekatan ini karena memahami makna secara literal, maka jelas kita akan menganggap bahwa yang ia sampaikan Aqil adalah bentuk perwujudan hasrat kekuasaan dan sikap-sikap intoleransi dalam upaya merebut ruang publik.

Namun ini akan berbeda, ketika kita memahami pernyataan tersebut dengan pendekatan kontekstual-semiotik. Memahami bagaimana kata itu disampaikan dan dalam konteks sosial seperti apa kata itu disampaikan. Ada unsur kritik sosial tentu saja yang direfleksikan dari konteks sosial tertentu (sektarianisme, dll), lalu dibalut dengan sense of humour yang didukung dalam ruang publik khas tertentu yang terbatas.

Persoalan kemudian muncul disini adalah ketika pernyataan dalam ruang khas tertentu yang terbatas itu, kemudian di bawa ke dalam ruang publik yang lebih luas. Disitulah lalu kemudian muncul sejenis gesekan. Sebab memang konteks pernyataan itu pada dasarnya memang tidak dimaksudkan untuk dibawa ke ruang publik yang tak terbatas. Apalagi di tengah ruang publik yang memang dari awal mengidap krisis literasi yang akut di tengah situasi sosial politik yang memang sedari awal sudah panas.

Ini sama halnya ketika beredar video beberapa bulan lalu, ketika anak-anak HMI dipersekusi oleh salah seorang dosen di Universitas Muhammadiyah Makassar, yang melarang mahasiswa-mahasiswi Muhammadiyah terlibat dalam organisasi HMI, dengan menggangap bahwa IMM adalah satu-satu rumah bagi mahasiswa Muhammadiyah, tidak ada tempat untuk HMI. Ini sebenarnya adalah sebuah percakapan internal (meski itu berbentuk persekusi), lalu kemudian mengalami gesekan yang lebih luas ketika ia di bawa ranah publik yang lebih luas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun