Mohon tunggu...
Muhammad Ruslan
Muhammad Ruslan Mohon Tunggu... Penulis - Pemerhati Sosial

Mengamati, Menganalisis, dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fenomena Said Aqil Siroj dan Krisis Budaya Literasi Kita

29 Januari 2019   09:14 Diperbarui: 29 Januari 2019   09:30 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar: detik.news.com

Budaya literasi bangsa kita rendah. Seringkali kita mendengar hal itu. namun, jarang kita mendengar penjelasan potensi dampak apa yang bisa ditimbulkan dari kerendahan budaya literasi kita dalam kehidupan bermasyarakat. Mispersepsi, miskonsepsi, barangkali gambaran sederhana dari bagaimana struktur kerja otak kita yang selalu gagal paham memahami suatu teks dan konteks, sebagai konsekuensinya.

Tahun 2016, survei dari Central Connecticut State University menempatkan Indonesia pada urutan kedua dari bawah dalam hal kecerdasan literasi. Indonesia berada di nomor 60 dari 61 negara, dengan indeks penguasaan literasi kita yang rendah. 

Tak hanya itu, hasil asesmen Indonesian National Assessment Programme (INAP) juga tak kalah menyedihkan. Indonesia masuk dalam kategori KURANG dalam kemampuan matematik dengan angka fantastis; 77,13%, kemampuan membaca; 46,83%, dan kemampuan sains; 73,61%.

Kita boleh-boleh saja membatah data itu dengan asumsi. Namun, faktanya nyaris sulit kita tolak. Rendahnya literasi matematik itu bisa terbaca pada beberapa hal seperti rendahnya pembacaan kita terhadap angka, spasial, alogaritma hingga rendahnya kemampuan memahami dan mengolah angka-angka finansial.

Konsekuensinya sebagai fakta, kita menjadi bangsa yang gagal menjadi bangsa penemu. Kecerdasaran robotic dan automatic mesin adalah kecerdadsaran alogaritma-matematics. Tak perlu jauh-jauh berbicara rendahnya kecerdasan alogaritma matematik kita pada aspek mencipta robotic, dll, toh, menghitung jumlah orang di Monas saja apakah ribuan, ratusan ribu, jutaan, atau bahkan puluhan juta, pun kita gagal, sampai harus ditayangkan di televisi nasional tentang perdebatan angka itu kok? Hehe.

Lalu pada aspek literasi sains. Seberapa cerdas kita sebagai bangsa dalam aspek sains? Apakah kita bisa dikatakan bangsa yang melek sains, ketika terjadi bencana lalu menimpalikan itu pada hal-hal abstrak teologis, lalu menafikan bahwa setiap fenomena terkandung hukum-hukum alam yang bekerja objektif?

Hukumnya sederhana, di masyarakat yang buta sains atau menolak sains, maka kepercayaan tentang yang abstrak dan supranatural biasanya mengambil tupoksi terbanyak aktivitas berpikir kita dalam memandang segala hal. Mirip ketika Pram menyebut, bahwa di masyarakat yang semakin sedikit pengetahuan terhadap suatu realitas, maka semakin banyaklah mitos yang mengisi kesadarannya akan realitas itu.

Singkatnya kita berada dalam bayang-bayang kebebalan cara berpikir akibat budaya literasi kita yang rendah. Dan di masyarakt demikian, akan selalu muncul banyak pertengkaran yang lahir dari kedangkalan pemahaman dalam memandang realitas. Kegaduhan tak produktif adalah hasilnya. Kegaduhan saling tunggang-menunggangi antara kebodohan bercampur kepentingan opurtunis. Lagi-lagi karena kecerdasan literasi kita yang memang memperihatinkan.

Lalu, bagaimana dengan literasi teks kita? Literasi teks ini, terkait dengan kecerdasan dan kemampuan kita secara linguistik. Mencakup kecerdasan kita membaca, memahami teks dan konteks hingga pada tahap yang tinggi mencakup kecerdasan kita dalam mengolah dan mencipta suatu simbol, bahasa, hingga metafora, dan tentu saja termasuk kecerdasan kita menangkap makna akan hal itu (simbol, bahasa, metafora, dll).

Ketika Rocky Gerung mencoba menjelaskan makna fiksional dari kitab suci, terjadi kegaduhan. Ketika Ahok berbicara di Kepulauan Seribu tentang kasus Al Maidah, pun sama. Ketika Sukmawati membacakan puisi, sama. 

Saya bingung, bahwa pertengkaran ini, mendayung-dayung antara rendahnya kecerdasan literasi teks antara penangkap teks hingga penutur teks, atau ia mendayung-dayung dalam rupa yang sama? Entah, apa dan siapa yang keliru, antara penutur atau penangkap makna, toh kemudian kita sebagai bangsa memang berada diambang kegagapan literasi. Itulah fatkanya.

Terakhir, adalah kasus Said Aqil Siroj, Ketua Umum PBNU. Pernyataan, Said Aqil siroj pada Harla ke-73 Muslimat NU di Jakarta (27/1) yang berbunyi, "Imam masjid, khatib-khatib, KUA-KUA, menteri agama, harus dari NU. Kalau dipegang selain NU, salah semua. Nanti banyak (tuduhan) bidah kalau selain NU. Ini bidah nanti, tari-tari sufi bidah nanti", ujarnya.

Sontak setelah video itu viral, pro-kontra lalu kemudian ramai. Dari berbagai level, satu persatu orang-orang mengomentarinya. Ada yang membela, dan tentu saja ada yang mengkritik.

Saya mencoba menepi. Mengulang berkali-kali potongan video itu. Lalu sampai pada perasaan-perasaan dan pertanyaan-pertanyaan. Pikirku; gagal paham? Kritik, caci-maki, hingga pembelaan berseliweran. Seolah-olah begitu sulitnya orang-orang kita memahami teks-konteks sederhana itu. Apakah ini bukti konkrit dari kenyataan akan budaya literasi kita yang menyedihkan itu?

Di masyarakat yang mengalami pendangkalan budaya literasi, orang-orang tak bisa membedakan antara semiotik, teks, dan substansi. Kalimat-kalimat metafora, paradoks, anekdot, apalagi sekelas sarkasme, hingga satire, tak pernah benar-benar bisa ditangkap maknanya dengan baik.

Orang-orang hanya bisa dan lebih senang berputar-putar pada permukaan teks yang kaku, rigid, dan tekstualis. Seolah ingin mengulang sebuah cara berpikir bahwa tidak ada makna kebenaran selain teks itu sendiri. Lalu, disitulah orang-orang akan ramai-ramai menghakimi suatu teks, sembari menafikan makna yang sesungguhnya.

Dalam penghakiman massal demikian, sang penutur lalu dimatikan. Kebenaran tafsir atas makna lalu kemudian direbut oleh orang-orang penangkap makna. Dengan menjadikan teks sebagai legitimasi kebenaran atas monopoli makna yang telah direbut secara tidak fair untuk menghakimi. Kedengaran seperti tirani? ya!

Fenomena gagal paham ini selalu terjadi dan ikut membonsai setiap percakapan ruang publik kita. Entah itu di media sosial hingga dunia nyata. Di media sosial, kita sering kali menemukan orang-orang demikian. Gagal paham atas suatu teks, lalu diikuti dengan penghakiman-penghakiman destruktif kepada sang penutur. Padahal persoalannya kadang-kadang tidak terletak pada penutur, apalagi teks, tapi terletak pada kedangkalan penangkap dalam mengungkap makna di balik teks.

Mari kita menelaah kasus Said Aqil Siroj sebelumnya. Ada dua pendekatan untuk memahami makna pernyataan tesebut. Pendekatan pertama, pendekatan tekstual. Pendekatan ini karena memahami makna secara literal, maka jelas kita akan menganggap bahwa yang ia sampaikan Aqil adalah bentuk perwujudan hasrat kekuasaan dan sikap-sikap intoleransi dalam upaya merebut ruang publik.

Namun ini akan berbeda, ketika kita memahami pernyataan tersebut dengan pendekatan kontekstual-semiotik. Memahami bagaimana kata itu disampaikan dan dalam konteks sosial seperti apa kata itu disampaikan. Ada unsur kritik sosial tentu saja yang direfleksikan dari konteks sosial tertentu (sektarianisme, dll), lalu dibalut dengan sense of humour yang didukung dalam ruang publik khas tertentu yang terbatas.

Persoalan kemudian muncul disini adalah ketika pernyataan dalam ruang khas tertentu yang terbatas itu, kemudian di bawa ke dalam ruang publik yang lebih luas. Disitulah lalu kemudian muncul sejenis gesekan. Sebab memang konteks pernyataan itu pada dasarnya memang tidak dimaksudkan untuk dibawa ke ruang publik yang tak terbatas. Apalagi di tengah ruang publik yang memang dari awal mengidap krisis literasi yang akut di tengah situasi sosial politik yang memang sedari awal sudah panas.

Ini sama halnya ketika beredar video beberapa bulan lalu, ketika anak-anak HMI dipersekusi oleh salah seorang dosen di Universitas Muhammadiyah Makassar, yang melarang mahasiswa-mahasiswi Muhammadiyah terlibat dalam organisasi HMI, dengan menggangap bahwa IMM adalah satu-satu rumah bagi mahasiswa Muhammadiyah, tidak ada tempat untuk HMI. Ini sebenarnya adalah sebuah percakapan internal (meski itu berbentuk persekusi), lalu kemudian mengalami gesekan yang lebih luas ketika ia di bawa ranah publik yang lebih luas.

Ini untuk mengatakan bahwa apa yang diklaim sebagai ''primordialisme'' berorganisasi massa itu memang pada dasarnya selalu ada di setiap organisasi. Primordialisme itu sendiri adalah istilah sosiologi pada dasarnya tidaklah bermakna buruk selama ia diolah dalam batas tertentu. Ia akan menjadi buruk ketika ia menyentuh hingga level etnosenterisme.

Begitupun, saya kira-kira kosakata-kosakata "merebut ruang publik" bukanlah kosakata-kosakata yang terlampau awam di tingkat Ormas. Dari organisasi massa hingga organisasi mahasiswa kita melihat, baik yang kanan, moderat, hingga yang kiri, istilah merebut ruang publik dalam makna ide maupun praktis pun sudah menjadi bahasa kultural di tingkat organisasi masing-masing. Hanya saja sekali lagi, kata-kata demikian memang saya sepakat ketika kita menempatkan itu dalam ruang konsumsi internal (non-publik) terbatas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun