"Menikah itu bukan hal yang sekedar sah secara hukum dan agama. Tapi siapkah aku kehilangan jati diriku, tubuhku, dan hidupku?"
Nur, 26 tahun, pekerja kreatif di Jakarta.Â
Fenomena perempuan lajang yang memilih tidak menikah semakin meningkat di Indonesia. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, dalam satu dekade terakhir, angka usia menikah pertama kian menanjak, dan banyak perempuan kini memilih tidak menikah sama sekali. Di balik keputusan ini, terdapat ketakutan yang kompleks: trauma melihat pernikahan orang tua yang gagal, maraknya perselingkuhan, laki-laki yang ternyata menyukai sesama jenis, hingga kekhawatiran kehilangan perawatan diri setelah menikah.
Fenomena ini tidak eksklusif terjadi di Indonesia. Jepang dan Brunei Darussalam sudah lebih dulu merasakan dampaknya: negara mengalami shortage sumber daya manusia akibat rendahnya angka kelahiran yang salah satunya disebabkan oleh banyaknya perempuan dan laki-laki yang tidak menikah.
Ketakutan yang Nyata dan Berlapis
Di ruang-ruang diskusi digital, perempuan saling berbagi cerita tentang ketakutan menikah. Bukan karena mereka membenci institusi pernikahan, melainkan karena mereka mempertanyakan: apakah pernikahan akan membuat mereka lebih bahagia, atau justru mengorbankan kebebasan yang selama ini diperjuangkan?
Seperti kejadian yang baru-baru ini muncul kepermukaan dan menjadi headline diseluruh platfrom media sosial tentang perceraian yang isunya karena perselingkuhan juga. Seorang influencer inisial D yang bercerai dengan suaminya S. Saat ini D banyak melakukan podcast salah satunya bentuk podcast mengobrol dengan sesama perempuan, yang menceritakan bagaimana kesalahan serta dampak dari perceraian. Dalam podcast tersebut ada temannya yang berinisial R yang belum menikah dan pastinya akan berfikir akankah terjadi sebuah pernikahan didalam dirinya.
Kesalahan ini juga sering sekali ter-up di Media sosial, kemudian dengan secara cepat menggiring opini dan seakan memberikan suatu gambaran "Married Is Scary".Â
Ketakutan Ini bukan Hal Baru?
Sejarah juga ternyata mencatat kejadian ini sudah menjadi masalah global sedari dahulu. Ketakutan perempuan terhadap pernikahan sebenarnya bukanlah fenomena modern. Di abad ke-19, R.A. Kartini menuliskannya dalam surat-suratnya kepada Abendanon. Ia mencemaskan bagaimana pernikahan bisa memadamkan cahaya perempuan yang ingin belajar dan tumbuh. Meski pada akhirnya ia menikah, gagasan Kartini tentang pendidikan dan kemerdekaan perempuan tetap hidup. Tetapi tetap membuktikan bahwa sebuah "pernikahan" bisa menjadi halangan bagi perkembangan perempuan.Â
Lebih jauh ke Barat, ada Florence Nightingale perempuan yang memilih untuk tidak menikah demi pengabdian pada dunia medis. Ia menganggap bahwa pernikahan bisa menghalangi misinya dalam merawat orang-orang sakit dan membangun sistem kesehatan yang lebih manusiawi. Pilihan itu membuatnya dicintai jutaan orang, tapi juga menyisakan kesepian yang tidak sederhana.
Dampak Demografi: Akankah Indonesia akan Sama dengan Jepang dan lainnya?
Jika tren ini terus berlanjut tanpa strategi nasional yang matang, Indonesia bisa saja menyusul Jepang dan Brunei Darussalam, dua negara dengan tantangan besar dalam regenerasi penduduk. Banyak perempuan di Negara tersebut dalam tanda "wanita karir" yang hanya memikirkan tentang kemajuan karir.Â
Krisis sumber daya manusia bukan hanya soal angka kelahiran yang menurun, tapi juga menyangkut produktivitas masa depan bangsa. Dengan semakin banyaknya generasi yang enggan menikah dan memiliki anak, negara bisa menghadapi tantangan serius dalam pembangunan jangka panjang.Â
Namun, menyederhanakan persoalan ini hanya menjadi 'krisis menikah' adalah bentuk kekeliruan. Yang dibutuhkan adalah ekosistem sosial yang adil dan aman bagi perempuan: bebas dari kekerasan rumah tangga, kesetaraan peran gender, dan dukungan bagi kesehatan mental serta fisik perempuan dalam pernikahan.
Menikah atau Tidak, Perempuan Harus Merdeka
Perempuan tidak takut menikah karena egois. Mereka takut karena mereka sadar akan risiko yang nyata. Pilihan untuk menikah atau tidak adalah hak penuh perempuan. Tapi yang perlu dijaga bersama adalah bagaimana negara dan masyarakat menciptakan ruang yang aman dan sehat agar pilihan itu tidak lahir dari trauma, melainkan dari kesadaran.
Seperti kata Kartini lebih dari seratus tahun yang lalu: "Saya mau hidup, mau bekerja, mau berguna, mau merdeka!"
Dan merdeka bagi perempuan hari ini, kadang berarti... tidak menikah.
Bukan Sekadar Salah Laki-Laki, Tapi Perubahan Pola Pikir Kolektif
Meski banyak kisah kegagalan rumah tangga yang melibatkan kesalahan di pihak laki-laki. Seperti perselingkuhan, kekerasan, hingga ketidaksiapan emosional, tidak adil jika semua beban kegagalan pernikahan ditimpakan hanya pada mereka. Dalam banyak kasus, pernikahan gagal juga karena tidak adanya kesesuaian visi, kurangnya komunikasi, dan pergeseran pola pikir kedua belah pihak terhadap makna pernikahan itu sendiri.
Perubahan zaman menuntut perubahan cara pandang. Laki-laki dan perempuan sama-sama menghadapi tekanan dan ekspektasi yang tinggi dalam rumah tangga. Ketika pernikahan tak lagi dipandang sebagai "kebutuhan mutlak", melainkan pilihan sadar, maka kesiapan emosional dan spiritual menjadi hal yang utama.
Maka dari itu, daripada saling menyalahkan, penting bagi masyarakat untuk membangun budaya baru: bahwa menikah adalah ruang tumbuh bersama, bukan perang status atau beban sosial. Dan bahwa perempuan yang memilih tidak menikah bukan berarti gagal, melainkan sedang merdeka dalam caranya sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI