Lebih jauh ke Barat, ada Florence Nightingale perempuan yang memilih untuk tidak menikah demi pengabdian pada dunia medis. Ia menganggap bahwa pernikahan bisa menghalangi misinya dalam merawat orang-orang sakit dan membangun sistem kesehatan yang lebih manusiawi. Pilihan itu membuatnya dicintai jutaan orang, tapi juga menyisakan kesepian yang tidak sederhana.
Dampak Demografi: Akankah Indonesia akan Sama dengan Jepang dan lainnya?
Jika tren ini terus berlanjut tanpa strategi nasional yang matang, Indonesia bisa saja menyusul Jepang dan Brunei Darussalam, dua negara dengan tantangan besar dalam regenerasi penduduk. Banyak perempuan di Negara tersebut dalam tanda "wanita karir" yang hanya memikirkan tentang kemajuan karir.Â
Krisis sumber daya manusia bukan hanya soal angka kelahiran yang menurun, tapi juga menyangkut produktivitas masa depan bangsa. Dengan semakin banyaknya generasi yang enggan menikah dan memiliki anak, negara bisa menghadapi tantangan serius dalam pembangunan jangka panjang.Â
Namun, menyederhanakan persoalan ini hanya menjadi 'krisis menikah' adalah bentuk kekeliruan. Yang dibutuhkan adalah ekosistem sosial yang adil dan aman bagi perempuan: bebas dari kekerasan rumah tangga, kesetaraan peran gender, dan dukungan bagi kesehatan mental serta fisik perempuan dalam pernikahan.
Menikah atau Tidak, Perempuan Harus Merdeka
Perempuan tidak takut menikah karena egois. Mereka takut karena mereka sadar akan risiko yang nyata. Pilihan untuk menikah atau tidak adalah hak penuh perempuan. Tapi yang perlu dijaga bersama adalah bagaimana negara dan masyarakat menciptakan ruang yang aman dan sehat agar pilihan itu tidak lahir dari trauma, melainkan dari kesadaran.
Seperti kata Kartini lebih dari seratus tahun yang lalu: "Saya mau hidup, mau bekerja, mau berguna, mau merdeka!"
Dan merdeka bagi perempuan hari ini, kadang berarti... tidak menikah.
Bukan Sekadar Salah Laki-Laki, Tapi Perubahan Pola Pikir Kolektif
Meski banyak kisah kegagalan rumah tangga yang melibatkan kesalahan di pihak laki-laki. Seperti perselingkuhan, kekerasan, hingga ketidaksiapan emosional, tidak adil jika semua beban kegagalan pernikahan ditimpakan hanya pada mereka. Dalam banyak kasus, pernikahan gagal juga karena tidak adanya kesesuaian visi, kurangnya komunikasi, dan pergeseran pola pikir kedua belah pihak terhadap makna pernikahan itu sendiri.
Perubahan zaman menuntut perubahan cara pandang. Laki-laki dan perempuan sama-sama menghadapi tekanan dan ekspektasi yang tinggi dalam rumah tangga. Ketika pernikahan tak lagi dipandang sebagai "kebutuhan mutlak", melainkan pilihan sadar, maka kesiapan emosional dan spiritual menjadi hal yang utama.