Janji itu tak lagi bisa menembus hati Azzam yang telah mengeras. Noda kebohongan itu terlalu pekat, menutupi semua keindahan yang pernah ia lihat. Ia merasa dikhianati, bukan hanya oleh Salma, tapi oleh ilusi cinta yang ia bangun sendiri. Ia membatalkan pernikahan itu.
Waktu berlalu. Azzam semakin sibuk dengan dakwahnya, tapi hati dan jiwanya terasa kering. Ia menjadi keras hati. Setiap ada wanita yang datang ke majelisnya dengan kerudung panjang, ia akan sinis dan curiga. Ia menganggap semua wanita berpotensi munafik. Ia menyembunyikan lukanya di balik topeng kesalehan, padahal di dalam hatinya, ia dipenuhi prasangka buruk.
Suatu hari, dalam sebuah acara bedah buku, ia bertemu Aisyah. Aisyah adalah seorang penulis buku islami. Ia mengenakan kerudung sederhana, tidak mencolok. Matanya teduh, dan setiap kali ia berbicara, ada ketulusan yang terpancar. Aisyah tidak mencoba menarik perhatian Azzam, tidak berusaha terlihat sempurna. Ia hanya menjadi dirinya sendiri.
Azzam mencoba menghindari Aisyah, takut hatinya kembali terluka. Namun, takdir memiliki jalannya sendiri. Mereka sering bertemu di acara-acara serupa. Aisyah pernah tanpa sengaja menumpahkan kopi di buku Azzam. "Maafkan aku, Mas Azzam," katanya dengan nada tulus. "Aku ganti bukunya ya."
Azzam menolaknya, tapi Aisyah bersikeras. Akhirnya, mereka bertukar nomor ponsel. Awalnya hanya sebatas urusan buku, tapi percakapan itu berlanjut. Aisyah tidak pernah bertanya tentang masa lalu Azzam. Ia hanya mendengarkan, dan sesekali memberikan nasihat yang menenangkan.
"Kadang, kita terlalu fokus mencari kesempurnaan pada orang lain, sampai lupa bahwa kita juga manusia yang punya banyak cacat," ujar Aisyah suatu sore. "Padahal, yang namanya cinta itu bukan tentang mencari yang sempurna, tapi tentang mencintai yang tidak sempurna."
Nasihat Aisyah, perlahan, melunakkan hati Azzam yang keras. Ia menyadari bahwa prasangkanya selama ini tidak adil. Ia telah menghakimi semua wanita karena kesalahan satu orang. Ia telah membiarkan luka lama menguasai hatinya hingga ia menjadi pribadi yang pahit. Ia bahkan menjadi munafik dalam versi yang lain: berpura-pura baik di depan orang lain, padahal hatinya penuh dengan kebencian.
Azzam memberanikan diri. Ia menceritakan semuanya pada Aisyah, tentang Salma, tentang kekecewaannya, dan tentang ketakutannya untuk mencintai lagi. Aisyah mendengarkan dengan sabar. Setelah Azzam selesai, Aisyah hanya berkata, "Terima kasih sudah jujur, Mas Azzam."
"Kamu tidak takut aku terluka lagi?" tanya Azzam.
Aisyah tersenyum. "Setiap manusia punya takdirnya sendiri, Mas. Tapi yang jelas, Allah tidak akan pernah membiarkan hamba-Nya terpuruk dalam kesendirian yang pahit. Sekarang, kerudung itu di tanganku, dan insya Allah, aku tidak akan membuatmu kecewa."
Azzam menatap mata Aisyah yang tulus. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa damai. Hati yang tadinya keras, kini terasa lapang. Ia tidak lagi melihat Aisyah sebagai target, melainkan sebagai anugerah. Ia tidak lagi melihat Aisyah sebagai jawaban atas trauma, tapi sebagai teman seperjalanan yang akan membantunya berhijrah ke arah yang lebih baik.