Mohon tunggu...
Teresia
Teresia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Teresia Sinaga

Menyukai pandangan hidup pribadi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tuan Takdir

26 April 2022   18:00 Diperbarui: 26 April 2022   18:32 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

           Dari pertemuan itu, kami semakin dekat. Perbincangan semakin membawa kami pada hubungan yang lebih intens. Alga kerap mengajakku mengitari tepi pantai, dan memintaku menceritakan semua hal mengenai diriku. Aku juga demikian—memintanya bercerita semua hal mengenai dirinya.

            Takdir berhasil menggunakan waktu untuk mengikat kami. Aku merasa beruntung dan bahagia menemukan Alga, meski tidak tahu, apakah Alga juga demikian. Jawaban akan kebahagian tidak menjadi hal penting bagiku, saat ini. Hal terpenting saat ini, Alga memintaku menjadi kekasih pertamanya. Tentu, Aku bersedia. Kami mengaku saling memahami dan bahagia ketika bersama—seperti perasaan kasmaraan. Meski, sering kali Alga mengingatkanku pada kemungkinan buruk dari hubungan anak muda, diusia kami yang  baru mengenal dunia asmara. Kisah asmara dimasa muda rawan atas perubahaan rasa, katanya. Itu tidak akan selalu sama. Jadi, jika suatu saat kami kehilangan rasa itu dalam perjalanan waktu, maka kami harus selalu siap dengan kata perpisahaan dan merelakan.

            Waktu berjalan cepat, dua tahun kami bertahan. Ucapan Alga tidak sepenuhnya benar. Waktu tidak memudarkan rasa bahagia dan ketertarikanku padanya—malah rasa itu semakin pekat. Aku tidak bisa membohongi pandanganku bahwa Alga juga tampak demikian. Dia tetap membawaku bercerita di tepian pantai, membawa ikan tangkapannya ke rumah Atma, atau menolongku menyelesaiakan hukuman membersihkan gudang selama seminggu di sekolah. Aku tidak membual. Alga selalu penuh canda tawa saat bersamaku. Dia benar-benar Alga yang masih pekat akan rasa kasmarannya.

            Di tahun ini, kami bersiap pada tahun kelulusan sekolah yang membuat siapapun berdebar. Yang ku tahu, Alga berhasil lulus seleksi perguruan tinggi luar negeri dengan beasiswa penuh. Selain tampan dan berasal dari keluarga yang terpandang di desa, Alga juga langganan juara olimpiade antarsekolah sejak duduk di kelas menegah pertama. Jadi, tidak mengherankan jika Alga bisa melanjutkan studinya hingga ke luar negeri dengan beasiswa penuh. Disisi lain, aku merasa berbeda dengan Alga. Aku tidak seperti dirinya yang mampu melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Uang menjadi alasan utama. Aku hanya memiliki satu pilihan saat lulus sekolah nanti, yakni bekerja di pabrik sepatu kota sebelah.

            Langit sore ini lebih indah dari biasanya, meski hanya aku yang menatapnya dari tepian. Alga tidak bersamaku. Yang kudengar dia cukup sibuk mengurus berkas-berkas pendidikan dan keberangkatanya. Mendengar itu, aku berdoa agar Alga menjadi lelaki sukses karena kecerdasaannya dalam berpendidikan. Aku juga berdoa agar dia tidak melupakanku dan menemuiku di tempat favorit kami berdua. Berharap sepuluh tahun kedepan kami akan bercerita tentang semua hal dari pengalaman hebat selama tidak bersama. Alga akan terkesima dengan pekerjaanku selama di pabrik sepatu dan aku juga akan terkesima dengan pengetahuan Alga selama duduk dibangku Universitas. 

            Aku termenung cukup lama. Malu-malu tersenyum dibalik harapan masa depan yang belum tiba. Telingaku bahkan, terasa tuli saat memikirkan semua itu, sampai-sampai tidak menyadari suara berat Alga memanggilku berkali-kali dari pondok pantai.

           Tentu saja, aku terkejut bukan main. Alga menemuiku meskipun ia sibuk.  

            “Alga,” sapaku padanya.

            “Kau, penipu, Ra! Teganya, Kau mengkhianatiku.”Alga malah menatapku dingin.

            Aku mengeleng kuat. Menatap air muka Alga penuh masam. Aku tidak menipunya bahkan, hingga saat ini aku terus menantinya. Alga menitikan air mata dan menghapusnya berkali-kali dengan kasar. Aku ikut menangis melihatnya, rasanya begitu berdosa melukai orang terpenting dalam hidupku. “Sedari awal kita memang berbeda. Aku memang bukan cakra yang kau ceritakan, tapi percayalah, pengkhianatan yang Kau lakukan padaku akan menjadikanmu sebagai wanita terendah yang pernah kukenal.” Aku tersungkur mendengar ucapanya. Alga berhasil mematahkan hatiku. Ini bukan perkara perbedaan, seperti yang Alga utarakan. Ya, bukan perkara bahwa kami terlahir dari kelas berbeda. Yang kutahu, ini hanya perkara balas budi. Aku dan Alga memang ditakdirkan berpisah dengan jalan ini. Dan aku tidak kuasa untuk menghentikannya. Hanya satu hal yang kuyakini saat itu, bahwa takdir memang menghancurkan harapanku dan menusukku dengan brutal.

           Di kamar ini.  Alga menatapku sekilas, kemudian menyentuh lembut cincin yang melingkar di jari manisku. Tatapannya beralih pada kedua mataku. “Kau, tidak pernah sendirian, Ra” ucapnya lembut. Perlahan tubuhnya melebur mengikut rupa angin—terbawa derai angin menuju alam bebas dari jendela kamarku yang terbuka lebar. Aku menjerit memanggil namanya. Berlari menutup jendela, melarang Alga pergi bersama angin meninggalkanku sendirian . Namun, itu sia-sia. Alga seperti ilusi yang mempermainkanku. Dia sama seperti Bobi—meninggalkanku tanpa sapaan yang berarti. “ALGA! Kumohon,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun