Vicky Aprilian
Program Studi Ilmu Komunikasi,
Universitas Bhayangkara Jakarta Raya
Dosen Pengampu: Saeful Mujab, S.Sos, M.I.Kom.
Abstrak
Artikel ini akan membahas tentang bagaimana monopoli komunikasi politik yang terjadi pada media dan juga kepemilikan media tersebut di Indonesia. Indonesia sendiri adalah salah satu Negara demokrasi terbesar di dunia, sistem pemerintahan demokrasi tersebut adalah berarti bahwa adanya persaingan yang sama antar sesama orang termasuk dalam hal memperoleh informasi dari media yang benar dan tidak menyesatkan serta tidak menyudutkan atau menaikan citra seseorang yang berkepentingan.
Media mejadi faktor penting dalam membangun sebuah opini publik tentang apa saja yang yang diberitakan bahkan termasuk citra bagi seorang pilitikus dan lain-lain. Permasalahannya adalah ketika oligopoly media berkembang pesat secara ekonomi dan juga politik yang dikuasai oleh beberapa orang saja dan bahkan mereka juga tergabung dalam partai politik tertentu yang amat sulit diganggu secara ekonomi dan juga politik. Monopoli media adalah musuh besar dari sistem Negara demokrasi.
Apabila Negara demokrasi dikuasai oleh segelintir elit dalam hal alur komunikasi politiknya, maka itu bukanlah esensi daripada Negara demokrasi itu sendiri. Penulisan artikel ini menggunakan metode kepustakaan (Library Research). Pada pembahasan dapat disimpulkan bahwa oligopoly dan konglomerasi media menuju pilpres 2024 adalah: bagaimana monopoli komunikasi politik yang terjadi pada media dan juga kepemilikan media tersebut di Indonesia serta bagaimana persepsi masyarakat akan hal tersebut.
Latar Belakang
Semakin berkembangnya teknologi membuat semakin banyak juga media yang dapat diakses oleh setiap orang untuk saling berkompetisi termasuk di Negara demokrasi. Demokrasi sendiri sangat menjunjung tinggi semangat kompetitifisme yang sehat guna memajukan Negara dan juga bangsa. Kehadiran media menjadi sangat penting juga sebagai alat untuk berkomunikasi dan juga menjalin interaksi dengan masyarakat dengan berbagai tujuan, seperti misalnya membangun citra publik, membentuk opini publik atau bahkan "menyudutkan" sesuatu.
Terlebih banyak media-medai di Indonesia yang ternyata dimiliki oleh segelintir elit tokoh publik yang juga tergabung dalam beberapa partai politik. Oleh karena itu munculah istilah oligopoly media dan juga konglomerasi media yang semakin hangat menjelang pemilihan presiden tahun 2024.
Oligopoli dan juga konglomerasi media membuat sebuah kecacatan media komunikasi politik dalam menyalurkan dan juga pendistribusian serta muatan informasi yang akan diperoleh oleh publik. Oligopoli membuat media-media tertentu hanya memproduksi informasi yang terpusat pada segelintir orang saja yang memiliki kepentingan politik di dalamnya.
Sedangkan konglomerasi media adalah bagaimana media-media yang jumlahnya banyak ternyata terkonvergensi menjadi satu kepemilikan saja. dari hal tersebut dapat ditarik logika bahwa bagaimana mungkin akan tercipta keberagaman dalam informasi apabila medianya saja hanya memberitakan orang-orang tertentu dan juga dimiliki oleh orang-orang yang sama bahkan juga terlibat dalam partai politik tertentu? Tentu saja tidak mungkin dan sangat berkebelakangan dengan prinsip demokrasi.
Ada beberapa standar normatif yang harusnya dipatuhi oleh media-media secara struktur, yaitu: pertama, kebebasan media itu sendiri, media harus bersifat independen dengan tidak dikontrol oleh pemerintah ataupun sang pemilik secara berlebihan yang bisa dilihat dengan tidak adanya sensor, lisensi dan semacamnya. Kedua, kepemilikan harus bersifat pluralitas, pemilik dari media tersebut haruslah dari latar belakang yang berbeda guna menciptakan ekosistem informasi yang beragam dan saling terbuka demi kepentingan publik.
Ketiga, media-media komunikasi politik haruslah mendukung jalannya demokrasi. Media harus dapat menjadi jembatan untuk publik dalam menyalurkan pendapat dan juga kritikan. Keempat, harus juga memenuhi kewajiban internasional. Karena seringkali media harus memberiakan informasi yang bukan hanya bersifat domestic namun juga non-domestik seperti propaganda, sabotase dan lain-lain (Karman, 2014).
Oleh sebab itu artikel ini akan membahas tentang bagaimana monopoli komunikasi politik yang terjadi pada media dan juga kepemilikan media tersebut di Indonesia khususnya yang sering kali semakin memanas menjelang kontestasi politik pilpres 2024. Artikel ini menggunakan kajian kepustakaan (Library Research) yang mengangkat judul tentang: OLIGOPOLI DAN KONGLOMERASI MEDIA MENJELANG PILPRES 2024.
Tinjauan Pustaka
* Penelitian pertama berjudul "MONOPOLI KEPEMILIKAN MEDIA & LENYAPNYA HAK PUBLIK" penelitian ini memiliki fokus kepada bagaimana efek buruk oligopoli media dan juga konglomerasi media kepda masyarakat demokrasi dengan perbandingan Negara Amerika Serikat. Didapatkan hasil bahwa konvergensi media juga terjadi di perusahaan telekomunikasi bukan hanya di perusahaan media dan meningkatnya praktik oligarki (Karman, 2014).
* Penelitian kedua berjudul "OLIGOPOLI DI NEGARA DEMOKRASI: PRAKTEK DAN KEPENTINGAN EKONOMI POLITIK MEDIA MASSA DI AUSTRALIA" penelitian ini berfokus membahas tentang oligopoli media dengan studi banding Negara Australia. Ditemukan bahwa di Negara Australia sendiri praktik oligopoli sangat marak ditemukan karena banyak media yang dikuasai oleh pemilik elit yang sama. Dampak dari oligopoli itu sendiri adalah menyangkut stabilitas ekonomi dan juga politik di Negara tersebut (Anna Yulia Hartati, 2021).
Metode
Artikel ini menggunakan metode Studi Kepustakaan (Library Research). Studi kepustakaan adalah sebuah metode yang dilakukan dengan cara membaca, mencatat dan dan mengolah bahan penelitian. Studi Kepustakaan bisa dilakukan dengan cara membaca referensi dari buku atau membaca referensi dari penelitian terdahulu yang bisa dijadikan sebagai sebuah landasan teori (Cahyono, 2020).
Hasil dan Pembahasan
Oligopoli media berarti bahwa pada struktur produksi media dan juga informasi yang diberikan ke publik hanya dapat dilakukan oleh segelintir actor capital yang sudah bermain lama dalam industry media yang memiliki Barrier To Entry dan memiliki kuasa menentukan siapa-siapa saja yang bisa melakukan bisnis dalam oligopoli media tersebut. Oligopoli media juga sebuah sumber daya untuk memproduksi konten, informasi, opini dan juga budaya yang tersentralisasi kepada beberapa orang saja.
Menurut Herman & Chomsky (1988) seorang kritikus di bidang media mereka berpendapat bahwa media sejatinya dapat merekayasa kesadaran publik melalui konten-konten yang diproduksi seperti misalnya kasus propaganda anti-komunisme. Hal tersebut disa dilihat setiap setahun sekali sejak semua media dikuasai oleh Soeharto secara berkala film G30S/PKI selalu diulang-ulang setiap tahunnya untuk menggiring opini dan juga persepsi publik terhadap komunisme agar publik menganggap paham tersebut adalah paham yang salah dan menyesatkan bagi keutuhan Negara.
Keberadaan oligopoli media juga seolah datang untuk memberikan persetujuan terhadap adanya oligarki atau bahkan berusaha untuk menyembunyikan oligarki dari benak keseharian publik dengan misalnya pengalihan isu dan sebagainya. Misalnya media yang hanya memberitakan tentang pertumbuhan ekonomi saja setiap harinya, pemberitaan tentang bertumbuhnya lapangan pekerjaan setiap harinya, pemberitaan tentang investasi saja maka itu semua akan membuat kita semua luput bahwa ada kekuasaan yang terkonsentrasi di dalam elit-elit tersebut (oligarki) tanpa kita sadari.
Sebagai gantinya, oligarkilah yang nantinya akan bertindak sebagai sebuah regulator yang berusaha untuk melindungi dan juga mempertahankan oligopoli media agar tetap berjalan sesuai dengan rencana. Hal tersebutlah yang lama-kelamaan akan terakumulasi menjadi sebuah capital dalam bisnis oligopoli media yang kemudian hari akan sangat mungkin berevolusi dan melahirkan adanya kolomerasi media di Indonesia.
Berkembangnya media di Indonesia dimulai dengan runtuhnya orde baru menuju ke masa reformasi yang dimana ditandai dengan lahirnya partai politik baru. Ada beberapa pemilik partai politik yang berusaha untuk melebarkan sayap dengan mengakuisisi beberapa media seperti Chairul Tanjung yang mendirikan TransTV, Hary Tanoesudibjo yang mengakuisisi TPI dan RCTI guna mendirikan Global TV, dan Surya Paloh yang mendirikan Metro TV (Tapsell: 2017). Sebagai sebuah oligarki media Hary Tanoesoedibjo terlibat langsung pada saat pemilihan umum tahun 2019.
Hal tersebut bisa dilihat ketika ia mendeklarasikan mendukung salah satu paslon yaitu pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin yang dimana ia menjamin bahwa pemberitaan yang dibawakan oleh media MNC Group akan memberitakan pemberitaan yang positif bagi paslon tersebut. Hal tersebut dilakukan untuk membuat persepsi yang baik terhadap publik atas pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin.
Bukan hanya itu, Hary Tanoesoedibjo juga mendukung pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin karena menginginkan perlindungan atas sebuah persoalan dan mendapatkan jabatan yang diduduki oleh putranya sebagai menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta partai Perindo berkemungkinan mendapatkan kesempatan menjadi bagian dari kabinet pemerintahan . Selain itu menjelang kontestasi pilpres 2024 nanti partai politik Nasdem yang menjalin koalisi dengan calon presiden Anies Baswedan memberikan framing pemberitaan yang baik di setiap media yang sama-sama dikuasai oleh Surya Paloh seperti Metro TV, Media Indonesia dan lain-lain.
Persepsi publik terhadap adanya oligopoli media dan juga oligarki yang ada tentu saja sangat dapat merugikan publik itu sendiri, yang dimana pemberitaan yang netral dan juga independen sangat penting bagi publik. Indonesia yang merupakan sebuah Negara demokrasi dan kekuasaan berada di tangan rakyat tentu saja seharusnya rakyat mendapatkan pemberitaan yang sebaik-baiknya guna menjalin arus komunikasi politik dengan ekosistem yang baik. Adanya framing dan agenda setting yang terjadi di antara media sejatinya merusak sebuah esensi normatif sebuah media pemberitaan.
Simpulan dan Saran
Simpulan
Di era digitalisasi dan perkembangan media komunikasi seperti saat ini menjadikan media adalah salah satu kebutuhan bagi kebutuhan rakyat untuk menopang berbagi macam kebutuhan salah satunya tentang meleknya masyarakat terhadap politik di Indonesia ini. Bila dilihat dari sudut pandang media adanya oligopoli dan juga konglomerasi media sangatlah lumrah sebab mengingat hal tersebut adalah bagian dari kebutuhan politik tentang kompromisasi demi sebuah kepentingan.
Bila berkaca dari pilpres 2019 maka ditemukan bahwa Hary Tanoesoedibjo sangat vocal dengan menyuarakan dukungannya kepada pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin demi sebuah kepentingan kedudukan, berlindung dari sebuah masalah dan juga kedudukan di dalam cabinet pemerintahan. Hal tersebut juga bisa dilihat pada masa sekarang dimana media surya paloh sangat vocal memberitakan framing yang baik terhadap calon yang diusung oleh Nasdem atau partainya sendiri.
Saran
Dengan membaca artikel ini penulis sangat menyarankan para pembaca dapat lebih kritis memilah dan memilih media yang dapat dipercaya dan tentu saja pembaca juga harus lebih bijak dalam memberikan rekasi terhadap setiap pemberitaan yang diterima dengan mencari media pembanding yang independen dan terpercaya.
KPI juga harus lebih bisa menjaga regulasi tentang pemberitaan politik agar setidaknya media memberikan framing yang tidak berlebihan atau bahkan sampai mengakibatkan propaganda dan perpecahan diantara masyarakat. Selain itu, lebih lanjut harus diadakan penelitian lebih jauh terhadap oligopoli-konglomerasi media ini di Indonesia.
Daftar Pustaka
Anna Yulia Hartati, Y. W. (2021). OLIGOPOLI DI NEGARA DEMOKRASI: PRAKTEK DAN KEPENTINGAN EKONOMI POLITIK MEDIA MASSA DI AUSTRALIA. Spektrum , XVIII (1), 1-23.
Cahyono, A. D. (2020). Studi Kepustakaan Mengenai Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Pasien Rawat Jalan di Rumah Sakit. JUrnal Ilmiah Pamenang , II (2), 1-6.
Karman. (2014). MONOPOLI KEPEMILIKAN MEDIA & LENYAPNYA HAK PUBLIK. Jurnal Masyarakat Telematika dan Informasi , V (1), 69-84.
Anna Yulia Hartati, Y. W. (2021). OLIGOPOLI DI NEGARA DEMOKRASI: PRAKTEK DAN KEPENTINGAN EKONOMI POLITIK MEDIA MASSA DI AUSTRALIA. Spektrum , XVIII (1), 1-23.
Cahyono, A. D. (2020). Studi Kepustakaan Mengenai Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Pasien Rawat Jalan di Rumah Sakit. JUrnal Ilmiah Pamenang , II (2), 1-6.
Karman. (2014). MONOPOLI KEPEMILIKAN MEDIA & LENYAPNYA HAK PUBLIK. Jurnal Masyarakat Telematika dan Informasi , V (1), 69-84.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI