Ada beberapa standar normatif yang harusnya dipatuhi oleh media-media secara struktur, yaitu: pertama, kebebasan media itu sendiri, media harus bersifat independen dengan tidak dikontrol oleh pemerintah ataupun sang pemilik secara berlebihan yang bisa dilihat dengan tidak adanya sensor, lisensi dan semacamnya. Kedua, kepemilikan harus bersifat pluralitas, pemilik dari media tersebut haruslah dari latar belakang yang berbeda guna menciptakan ekosistem informasi yang beragam dan saling terbuka demi kepentingan publik.
Ketiga, media-media komunikasi politik haruslah mendukung jalannya demokrasi. Media harus dapat menjadi jembatan untuk publik dalam menyalurkan pendapat dan juga kritikan. Keempat, harus juga memenuhi kewajiban internasional. Karena seringkali media harus memberiakan informasi yang bukan hanya bersifat domestic namun juga non-domestik seperti propaganda, sabotase dan lain-lain (Karman, 2014).
Oleh sebab itu artikel ini akan membahas tentang bagaimana monopoli komunikasi politik yang terjadi pada media dan juga kepemilikan media tersebut di Indonesia khususnya yang sering kali semakin memanas menjelang kontestasi politik pilpres 2024. Artikel ini menggunakan kajian kepustakaan (Library Research) yang mengangkat judul tentang: OLIGOPOLI DAN KONGLOMERASI MEDIA MENJELANG PILPRES 2024.
Tinjauan Pustaka
* Penelitian pertama berjudul "MONOPOLI KEPEMILIKAN MEDIA & LENYAPNYA HAK PUBLIK" penelitian ini memiliki fokus kepada bagaimana efek buruk oligopoli media dan juga konglomerasi media kepda masyarakat demokrasi dengan perbandingan Negara Amerika Serikat. Didapatkan hasil bahwa konvergensi media juga terjadi di perusahaan telekomunikasi bukan hanya di perusahaan media dan meningkatnya praktik oligarki (Karman, 2014).
* Penelitian kedua berjudul "OLIGOPOLI DI NEGARA DEMOKRASI: PRAKTEK DAN KEPENTINGAN EKONOMI POLITIK MEDIA MASSA DI AUSTRALIA" penelitian ini berfokus membahas tentang oligopoli media dengan studi banding Negara Australia. Ditemukan bahwa di Negara Australia sendiri praktik oligopoli sangat marak ditemukan karena banyak media yang dikuasai oleh pemilik elit yang sama. Dampak dari oligopoli itu sendiri adalah menyangkut stabilitas ekonomi dan juga politik di Negara tersebut (Anna Yulia Hartati, 2021).
Metode
Artikel ini menggunakan metode Studi Kepustakaan (Library Research). Studi kepustakaan adalah sebuah metode yang dilakukan dengan cara membaca, mencatat dan dan mengolah bahan penelitian. Studi Kepustakaan bisa dilakukan dengan cara membaca referensi dari buku atau membaca referensi dari penelitian terdahulu yang bisa dijadikan sebagai sebuah landasan teori (Cahyono, 2020).
Hasil dan Pembahasan
Oligopoli media berarti bahwa pada struktur produksi media dan juga informasi yang diberikan ke publik hanya dapat dilakukan oleh segelintir actor capital yang sudah bermain lama dalam industry media yang memiliki Barrier To Entry dan memiliki kuasa menentukan siapa-siapa saja yang bisa melakukan bisnis dalam oligopoli media tersebut. Oligopoli media juga sebuah sumber daya untuk memproduksi konten, informasi, opini dan juga budaya yang tersentralisasi kepada beberapa orang saja.
Menurut Herman & Chomsky (1988) seorang kritikus di bidang media mereka berpendapat bahwa media sejatinya dapat merekayasa kesadaran publik melalui konten-konten yang diproduksi seperti misalnya kasus propaganda anti-komunisme. Hal tersebut disa dilihat setiap setahun sekali sejak semua media dikuasai oleh Soeharto secara berkala film G30S/PKI selalu diulang-ulang setiap tahunnya untuk menggiring opini dan juga persepsi publik terhadap komunisme agar publik menganggap paham tersebut adalah paham yang salah dan menyesatkan bagi keutuhan Negara.
Keberadaan oligopoli media juga seolah datang untuk memberikan persetujuan terhadap adanya oligarki atau bahkan berusaha untuk menyembunyikan oligarki dari benak keseharian publik dengan misalnya pengalihan isu dan sebagainya. Misalnya media yang hanya memberitakan tentang pertumbuhan ekonomi saja setiap harinya, pemberitaan tentang bertumbuhnya lapangan pekerjaan setiap harinya, pemberitaan tentang investasi saja maka itu semua akan membuat kita semua luput bahwa ada kekuasaan yang terkonsentrasi di dalam elit-elit tersebut (oligarki) tanpa kita sadari.